Oleh :
Muhadam Labolo
(Guru Besar Ilmu Pemerintahan pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILASBABEL.COM – Jepang pernah menjajah kita, 3,5 tahun. Walau ringkas, Jepang meninggalkan kita dalam kondisi yang tak lebih baik dari Belanda. Untuk bangkit kita butuh waktu lama. Lebih 78 tahun kita terus membangun, namun hasilnya tak secepat recovery Jepang pasca luluh-lantak oleh bom atom.
Jepang hanya butuh dua kali rencana pembangunan jangka panjang, atau kurang dari 40 tahun untuk menyusun kembali puing-puing Nagasaki dan Hiroshima. Dengan tekad kuat pemimpin dan rakyatnya, kehancuran itu justru menjadi cambuk untuk bangkit. Modalnya sederhana, ilmu pengetahuan.
Semua orang tau, di tengah retaknya kota, Kaisar Hirohito ke-124 itu tak mencari tentara. Ia mengais guru dari satu tempat ke tempat lain, mengumpulkan, menghitung dan memberi arahan pendek pada 45.000 guru, bangun semangat anak-anak Jepang dan beri mereka pengetahuan untuk membangun negara itu.
Dengan kepatuhan tinggi, para guru melaksanakan misi pemimpinnya. Tidak siang maupun malam, mereka meletakkan impian tinggi di benak setiap muridnya. Melengkapi semua itu dengan semangat bushido agar akar budayanya tak lepas meski kelak alam pikir mereka dijejali oleh pengetahuan barat.
Pemimpinnya sadar bahwa kekalahan telak dalam perang dunia itu karena Jepang tak punya ilmu sebaik Amerika. Mereka siuman, satu-satunya cara mengejar ketertinggalan dan kebodohan hanya dengan belajar. Untuk itu mereka butuh guru, bukan tentara. Tentara kalah menunjukkan rendahnya ilmu pengetahuan yang diproduksi guru.
Kaisar menyadari bahwa untuk melawan sekutu hanya perlu senjata baru. Senjata itu adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan itu semua dapat dihasilkan, termasuk senjata canggih. Karenanya, tak ada pilihan lain kecuali mengajarkannya lewat guru. Bila tak ada, temukan gurunya dimana saja, termasuk di kandang musuh, Amerika.
Jepang mengawinkan tradisi dan modernisasi. Tradisi spiritualitas sinto berfungsi sebagai agama yang membentuk karakter sekaligus kearifan lokal. Nilainya dipegang teguh turun-temurun. Disuntikkan ke modernisasi agar menyeimbangkan harmoni dalam pergaulan dunia. Dengan begitu Jepang tak lagi tertinggal, apalagi dipermalukan lewat kecanggihan bom atom.
Kini Jepang merupakan negara dengan teknologi dan sumber ilmu pengetahuan yang menjadi rujukan di Asia Timur. Rujukan yang dihasilkan oleh guru yang tersisa. Tak ada waktu yang disia-siakan. Mobilitas masyarakat Jepang hanya terlambat 7 detik pertahun. Kedisiplinan mereka menghasilkan produktivitas yang terukur. Efesien dan efektif sebagaimana jadwal transportasi publik.
Etikabilitas masyarakat Jepang terpatri dalam laku sehari-hari. Sekali lagi, guru menanamkan itu sejak dini agar selaras dengan pergaulan umum. Sulit menemukan kasus suap pada polisi, hakim, jaksa, hingga aparatur pelayan masyarakat. Urusan publik hanya dapat dipertanggungjawabkan dengan cara mundur dari jabatan, atau sekalian mati (harakiri).
Pengajaran guru menyentuh aspek kebersihan diri dan lingkungan. Realitas menunjukkan betapa sulit menemukan sampah di keramaian Tokyo. Sampah bukan semata beban pemerintah, namun tanggungjawab pribadi dan korporasi. Fakta bahwa kebersihan sebagian dari iman nampak dalam realitas, bukan sekedar pesan agama. Sesuatu yang sederhana namun menjadi kesadaran kolektif.
Guru memang mengajarkan pengetahuan dan sains, namun pada saat yang sama mengajarkan bagaimana berhemat dengan baik. Tentu kontras ketika melihat bagaimana masyarakat penghasil teknologi tinggi itu hanya menggunakan teknologi biasa. Rasanya malu berada disamping seorang kawan dosen Jepang dengan android seharga di bawah 5 jutaan.
Guru mendidik kemandirian muridnya. Sepanjang dapat dikerjakan sendiri, tak butuh orang lain. Kita dihargai karena karya besar kita. Ditraktir orang lain kesannya lemah dan tak sanggup mandiri, alias miskin. Prinsipnya lebih baik mentraktir daripada ditraktir. Keberhasilan kita ketika mampu membantu orang lain, sekaligus pertanda kita telah mandiri.
Kemandirian didukung oleh pemerintah. Tak heran bila produk petani diproteksi dan dibayar mahal. Ketahanan pangan dijaga bersama. Ini memungkinkan kedaulatan pangan Jepang relatif kuat, sekalipun hanya 20% dataran yang layak dibudiayakan. Sisanya gunung dan perbukitan non pertanian. Sedemikian sempitnya sehingga subsidi pertanian didongkrak tinggi.
Di Jepang, murid berlomba memperlihatkan prestasi. Prestasi menjamin investasi pendidikan terbaik di kemudian hari, sekolah di perguruan tinggi terbaik. Tak hanya murid, guru yang tak mampu mengantar muridnya ke jenjang terbaik tak jarang mengalami depresi, merasa gagal mengemban profesinya. Ini bukan soal apa, tapi tanggungjawab moral.
Soal moralitas di atas segala-galanya. Guru dan murid punya tanggungjawab moralitas yang sama, kejujuran. Karenanya, sukar menemukan kasus ijazah palsu, apalagi dalam peristiwa suksesi kepemimpinan. Itu aib yang tak tertanggungkan kecuali dimaafkan oleh publik. Kejujuran mengalir kemana-mana, termasuk kembalinya barang bila tertinggal di kereta api.
Sejauh ini, guru di Jepang tak hanya mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan, juga karakter, sebagaimana fungsi guru kata Daoed Joesoef (1980), yaitu fungsi profesional, kemanusiaan, dan kemasyarakatan. Fungsi pertama berkaitan dengan penguasaan materi dan metode mentranformasikan ilmu pengetahuan.
Fungsi ini umumnya gagal di metode. Banyak guru punya ilmu dan pengalaman tinggi, namun tak paham bagaimana mentrasformasikan pada muridnya. Guru gagal menyederhanakan yang complicated menjadi mudah. Bahkan sebaliknya, mengubah yang mudah menjadi sulit. Matematika, fisika, kimia, dulu menjadi pelajaran yang dijauhi ketimbang diminati.
Fungsi kedua berkaitan dengan fungsi kemanusiaan. Guru di Jepang mampu mentransmisikan nilai kemanusiaan kedalam sukma muridnya. Mereka menyadari bahwa perang hanya akan meninggalkan kehancuran fisik dan mematikan nilai kemanusiaan. Perang yang menyakitkan itu tak lain kecuali pelajaran kemanusiaan yang disimbolkan lonceng di Hiroshima dan Nagasaki.
Fungsi ketiga adalah fungsi kemasyarakatan. Suatu fungsi yang kini disisipkan dalam tridarma perguruan tinggi, agar institusi pendidikan tidaklah sekedar menjadi menara gading yang tuna lingkungan. Fungsi ini menjawab masalah sekaligus memastikan signifikansi ilmu pengetahuan yang diperoleh. Disinilah manfaat ilmu pengetahuan dan riset yang muaranya berakhir di tengah masyarakat.
Dalam keseluruhan itulah fungsi dan peran guru di Jepang bergerak. Kini peran guru itu menghasilkan return investmant yang luar biasa. Pertanyaan yang perlu direnungkan adalah, seberapa jauh peran kita sebagai guru dalam menjalankan ketiga fungsi di atas hingga di kelak hari bangsa ini mampu melampaui kemajuan bangsa lain. Mungkin tak perlu bertanya pada rumput yang bergoyang. (*)