Oleh :
Muhadam Labolo
(Guru Besar Ilmu Pemerintahan pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILASBABEL.COM – Dalam buku Rudini, Jejak Langkah Sang Perwira (222-225), Ia menuliskan asa tentang masa depan pendidikan Pamong Praja. Empat mimpi besar itu pertama, menciptakan aparat yang disiplin. Rudini membayangkan postur aparatur yang selalu berpegang teguh pada rules, tak peduli bagaimanapun situasi yang dihadapi.
Tentu saja imaji Rudini akan sosok ideal demikian terbangun oleh pengalaman dirinya sebagai perwira, selain apa yang dihadapinya ketika suatu saat melewati imigrasi sipil di bandara Amerika. Ia pernah dilucuti karena membawa sebilah pisau souvenir paska studi gabungan perwira angkatan darat di West Point.
Pengalaman itu membuat Rudini terkesan. Integritas aparat sipil rupanya dapat dibentuk tanpa memandang siapa, dan dimana. Ia merenung sepanjang penerbangan pulang ke tanah air. Andai aparat sipil dididik khusus semacam itu, mungkin saja pemerintahan akan lebih profesional, disiplin dan netral.
Ketika Rudini diberi kesempatan menjadi Menteri Dalam Negeri (1988-1993), mimpi itu direalisasikan. Ia desain aparat sipil model Weberian, diberi sentuhan disiplin ala militer untuk melayani pemerintah dan masyarakat dalam sistem sentralistik Orde Baru. Sebagai mesin negara, birokrasi semacam itu relatif efektif.
Konsepsi itu tampak ideal di masanya, mungkin tidak dimasa kini. Perubahan kesatuan sentralistik ke desentralistik membutuhkan fleksibilitas yang tinggi seperti bola karet. Efektivitas pelayanan aparat sipil tak sama dengan tentara dan polisi. Asumsi yang dibangun pun berbeda.
Bagi tentara, semua musuh, sepanjang mampu membuktikan kawan, lindungi. Bagi polisi, semua bisa dipandang kriminal, sejauh mampu membuktikan sebaliknya, proteksi. Namun bagi Pamong, semua layak dipandang tuan yang dilayani, termasuk sepanjang membuktikan dirinya individu yang mesti dimasyarakatkan, layani.
Kedua, Rudini ingin menciptakan aparatur yang berorientasi nasional. Wawasan ke-Indonesiaan akan mengurangi sifat kedaerahan dan perasaan terkotak-kotak. Pamong Praja punya tanggungjawab luas, menjadi aset nasional, serta pengintegrasi bangsa. Gagasan ini membawa konsekuensi ditutupnya 21 APDN lokal dan menyatukannya di Jatinangor.
Ketiga, Rudini menginginkan aparatur yang tidak saja memiliki jiwa kebangsaan, juga kader birokrat berjiwa Pamong Praja, melayani rakyat. Bagian ini menunjukkan bahwa Rudini tak melupakan cultural-history sekalipun prototipe yang ia bayangkan adalah aparat sipil yang dipenuhi kedisiplinan tinggi. Ia sadar basis Pamongpraja itu, bukan berangkat dari ruang hampa.
Keempat, Rudini tak lupa membayangkan aparat sipil yang berbobot, demokratis dan berwibawa. Bagian ini menggambarkan bahwa meski mereka dididik lewat sentuhan militer, tidak berarti aparat sipil kehilangan sifat demokratis. Untuk itu Rudini mendesain pola pendidikan asrama (boarding school) guna meningkatkan kualitas Pamong Praja.
Pola pendidikan dikemas melalui metode konsentrik (jarlatsuh). Pengajaran mewakili bobot kognitif. Pelatihan merepresentasikan muatan psikomotorik. Pengasuhan merefleksikan kualitas afeksi. Ketiga metode dengan titik berat pada afeksi itu dengan sendirinya membentuk karakter khas yang berwibawa. Pola ini, trend diadaptasi dalam sistem pendidikan dewasa ini.
Untuk mengenang jasa beliau, disamping Aula IPDN Jatinangor dibangun patung setengah badan Rudini (sekaligus nama Aula). Ia penerima 6 bintang dan pernah menjadi Ketua LPU. Rudini peletak dasar pendidikan Pamong Praja berwawasan nasional dengan jiwa kebangsaan dan disiplin tinggi. Ia lahir di Malang walau banyak menghabiskan pendidikan militer di Bandung hingga wafat di usia 77 tahun. (*)