KILASBABEL.COM – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri diminta menanggalkan jabatannya usai diumumkan sebagai tersangka korupsi oleh Polda Metro Jaya.
Hal itu sesuai dengan Pasal 32 ayat 2 UU KPK yang berbunyi ‘dalam hal pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatan‘.
“Lagi pada nagih pasal 32 ayat 2 (di internal KPK),” ujar sumber Liputan6.com, Kamis (23/11/2023).
Sumber menyebut beberapa pegawai KPK sudah menagih agar Firli menjalani aturan yang ada dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Penagihan itu sudah ramai di dalam grup aplikasi perpesanan di internal KPK.
Hanya saja secara tertulis desakan tersebut belum dibuat dan diberikan ke Firli Bahuri. Dia berharap hal itu tak perlu dilakukan jika Firli profesional dan mengikuti prosedur yang ada.
“Di grup (aplikasi berkirim pesan) sudah ramai. Belum (disampaikan secara langsung ke Firli) karena (pegawai) masih pada di rumah,” kata dia.
Dia tak hanya meminta Firli nonaktif sebagai ketua KPK, namun dia mendesak Firli Bahuri mundur karena rekam jejak buruk Firli Bahuri.
Dia berharap nantinya KPK dipimpin oleh pihak yang benar-benar niat memberantas korupsi.
“Sejak menjabat sebagai Deputi Penindakan, tindak tanduk Firli sudah menunjukkan niat jahat mengatur perkara di KPK,” kata dia.
Sejumlah Kasus Firli
Saat masih menjadi Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Firli Bahuri sempat bertemu dengan pihak berperkara di KPK. Firli diduga sempat bertemu dengan Gubernur NTB Tuan Guru Bajang Zainul Majdi alias TGB pada Mei 2018.
Saat itu KPK tengah mengusut kasus dugaan korupsi divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara. Firli dua kali melakukan pertemuan dengan TGB, yakni pada Sabtu, 12 Mei 2018 dan Minggu, 13 Mei 2018. Pada Minggu, Firli bertemu dengan TGB sambil bermain tenis. Namun Firli ditarik ke Polri sebelum pengusutan pelanggaran etiknya dirampungkan Pengawas Internal KPK.
Setelah menjadi pimpinan KPK, Firli Bahuri juga tak luput dari kontroversi, mulai dari gaya hidup mewah dengan menaiki helikopter saat perjalanan ke Sumatera Selatan hingga dugaan membocorkan penyelidikan dugaan korupsi di Kementerian ESDM.
Tak hanya itu, Firli Bahuri juga menemui Gubernur Papua Lukas Enembe jauh sebelum Lukas ditahan KPK. Namun dari serangkaian kontroversi tersebut, Dewan Pengawas KPK yang dipimpin Tumpak Hatorangan Panggabean seolah tak ada taring dalam menjatuhkan sanksi etik kepada Firli. Firli masih dengan leluasa memimpin lembaga yang dilahirkan untuk memberantas korupsi.
Pasal Berlapis
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri dijerat pasal berlapis atas kasus dugaan pemerasaan terhadap mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL). Tak main-main ancaman hukuman dari lima tahun kurungan penjara sampai penjara seumur hidup.
Dalam kasus ini, Firli dipersangkakan melanggar Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf B atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Junto Pasal 65 KUHP.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak kemudian membeberkan, sanksi pidana maupun denda sebagaimana yang diterangkan di dalam pasal tersebut.
Adapun, Pasal 12 huruf e tentang Undang Undang tentang pemberantasan tindak korupsi pegawai negeri atau penyelenggaraan negara yang dimaksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Kemudian, Pasal 12 huruf B ayat 1 berbunyi setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dan kewajibannya ataupun tugasnya dan terkait dengan Pasal 12 huruf B ayat 1.
“Pada Pasal 12 huruf B ayat 2 disebutkan bahwa pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana yang dimaksud ayat 1, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 Miliar,” kata Ade saat konferensi pers, Kamis (23/11/2023) dini hari.
Sedangkan, Ade melanjutkan untuk Pasal 11 ancaman pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan/atau pidana paling sedikit denda Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.
“Bagi pegawai negeri, atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya,” ujar dia.
Sumber : liputan6.com