KILASBABEL.COM – Kelahiran merupakan salah satu proses penting yang selalu terjadi setiap hari di Indonesia. Meski sebagian besar kalangan biasanya melalui proses ini dengan dibimbing tenaga ahli dalam hal ini dokter kandungan, namun ada satu peran yang sejak lama tak bisa lepas dari proses kelahiran bagi para Ibu, yakni bidan.
Punya andil tak kalah besar dan penting layaknya dokter, bidan berperan dalam memberikan perawatan prenatal atau sebelum persalinan, memeriksa kondisi fisik ibu selama masa kehamilan, saat persalinan, setelah melahirkan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan fase kehamilan.
Karena itu, tak heran jika profesi bidang juga mendapat penghargaan dengan momentum peringatan yang layak melalui Hari Bidan Nasional, yang diperingati setiap tanggal 24 Juni. Penetapan tanggalnya sendiri sesuai dengan lahirnya orgnisasi Ikatan Bidan Indonesia (IBI), pada tahun 1951.
Selain berhubungan dengan persalinan, sebenarnya selama ini bidan memiliki tugas penting dalam hal konseling dan pendidikan kesehatan. Di mana cakupannya tidak hanya terbatas bagi perempuan, namun keluarga dan masyarakat secara umum.
Lebih dari itu, di beberapa kesempatan kerap dijumpai sejumlah orang yang menjalankan profesinya sebagai bidan secara ‘ekstra’. Bukan hanya sekadar tugas biasa, namun disertai dengan perjuangan dan inisiasi kesehatan yang menjadi inspirasi.
Siapa saja deretan sosok bidan menginspirasi yang dimaksud, dan apa aksi mulia yang dilakukan? Berikut tiga di antaranya:
Eros Rosita, pahlawan bagi ibu suku Baduy
Eros Rosita adalah seorang bidan di Banten yang sudah memulai kariernya sejak tahun 1994. Awalnya ia bertugas di Puskesmas Cimanggu, Pandeglang, Banten. Namun ia memiliki keinginan untuk membantu masyarakat yang berada di kabupaten lain, dengan tujuan awal ingin mencari pengalaman.
Ia pun akhirnya menjatuhkan pilihan ke Desa Kanekes, salah satu desa yang didiami oleh masyarakat Baduy yang saat itu masih lebih mempercayai dukun beranak, yang dikenal juga dengan sebutan Paraji.
Meski melakukan sosialisasi kesehatan secara door-to-door ke Ibu-ibu di Desa Kanekes yang sedang dalam kondisi hamil atau memiliki bayi, namun awalnya penolakan yang Eros dapat. Padahal setiap harinya ia mengawali hari melakukan kegiatan tersebut mulai pukul 05.30 pagi sampai jam 17:30 petang.
Terus melakukan berbagai pendekatan selama dua tahun lamanya, mulai dari berbaur, berbincang, dan perlahan memberikan edukasi dengan lembut, perlahan perempuan Baduy desa tersebut mulai mengikuti panduan kesehatan Eros.
Bahkan akhirnya sejak tahun 1997, Eros menjadi sosok kepercayaan warga Baduy soal kesehatan ibu dan anak.
Di samping itu, perjuangan Eros untuk bisa datang ke Desa Kanekes sendiri sebenarnya tidak bisa dibilang mudah. Jalanan rusak yang akan menjadi genangan jika hujan, jalur dengan tanjakan curam, hingga jalur sungai dengan arus deras yang pernah hampir membuatnya hanyut dan meregang nyawa sudah ‘kenyang’ dilalui selama mengabdi.
Kini di usianya yang sudah semakin Renta, layanan kesehatan yang dilakukan oleh Eros sudah diteruskan oleh rekan-rekan juniornya yang ia bimbing dengan tujuan regenerasi.
Witnowati, menjual harta demi klinik bersalin
Tidak seperti sekarang, menjadi seorang bidan di zaman dulu bukanlah hal yang mudah. Setidaknya hal itu yang dirasakan oleh Witnowati, seorang perempuan asal Cipatujah, Tasikmalaya, yang diketahui memiliki latar belakang keluarga tidak mampu.
Mengutip DW, ia beruntung karena nasibnya berubah saat terpilih untuk menjadi anak asuh SOS Kinderdorf di Lembang, di uisa 8 tahun. Setelah lulus SMP, Witnowati memilih untuk melanjutkan ke Sekolah Perawat.
Setelah dapat bekerja sendiri, ia sempat melanglang buana ke Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur sebelum akhirnya kembali ke daerah Bandung. Di desa Cibodas, Lembang, Witnowati membuka tempat praktik pertama dengan menyewa sebuah garasi kosong dan satu kamar.
Tidak butuh waktu lama, karena ia menjadi satu-satunya bidan dan tenaga kesehatan di desa setempat, garasi tempat praktek tidak memadai lagi untuk menampung pasien yang terus bertambah. Akhirnya Witnowati mengambil keputusan yang cukup berani dengan menjual seluruh tabungan ternaknya.
Terhitung ada sebanyak 20 ekor sapi yang ia tukar untuk memperoleh lahan seluas 1.000 meter persegi. Di sana kemudian ia mendirikan klinik bersalin dan perawatan bagi ibu hamil. Pada tahun 2006, Witnowati diganjar penghargaan penghargaan Hermann Gmeiner 2006.
Penghargaan tersebut diberikan setiap dua tahun kepada sosok yang dianggap berprestasi dalam bidang kemanusiaan, pekerjaan, olahraga, pendidikan atau kebudayaan.
Rosalinda Delin, meluruskan budaya panggang api di NTT
Di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, dulunya ada sebuah tradisi bernama panggang api. Tradisi tersebut merupakan ritual yang biasa dilakukan oleh masyarakat setempat bagi seorang ibu yang baru melahirkan.
Secara harfiah Ibu dan anak yang baru dilahirkan akan melalui ‘pengasapan’ selama 20 hari lamanya. Masyarakat lokal mempercayai jika ritual yang dimaksud ampuh untuk mengatasi kondisi pegal-pegal pasca melahirkan, dan untuk menghangatkan bayi yang kedinginan.
Menjadi tradisi yang menimbulkan pertentangan karena memiliki dampak kesehatan yang buruk bagi ibu maupun anak, kini tradisi tersebut sudah terkikis. Adapun sosok yang berperan penting dalam menghapuskan kebiasaan tersebut adalah seorang bidan bernama Rosalinda Delin.
Rosalinda secara perlahan memberikan pemahaman akan bahaya dari tradisi panggang api dengan cara yang lebih masuk akal. Ia menunjukkan simulasi sederhana menggunakan ikan yang dibakar dengan arang untuk menggambarkan kondisi ibu dan bayi yang sedang ‘dipanggang’.
Tidak hanya menunjukkan bahwa tradisi tersebut berbahaya karena bisa menimbulkan dehidrasi, anemia, dan lain sebagainya, Rosalinda juga mengedukasikan cara yang tepat dengan memberikan selimut kepada ibu dan bayi untuk memberikan kehangatan.
Berkat inisiasi lugas dan bermakna yang dilakukan, Rosalinda diganjar penghargaan Srikandi Award 2011 yang dianugerahkan oleh IBI dan Sari Husada.
Sumber : goodnesfromindonesia.com