KILASBABEL.COM – Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyesalkan adanya delapan pengungsi Rohingya yang ketahuan ber-KTP Medan. Dia menengarai itu bukan jumlah sebenarnya. Sebab itu, hal tersebut dia nilai perlu ditelisik lebih jauh.
“Itu berarti birokrasi kita itu telah kecolongan dengan kasus itu. Dan harus ditelisik lebih jauh, jangan-jangan tidak hanya sejumlah itu mungkin. Jangan-jangan sudah banyak para pengungsi ini kemudian melakukan naturalisasi secara diam-diam,” kata Muhadjir saat ditemui di Jakarta, Senin (18/12).
Muhadjir menilai, hal serupa itu semestinya tidak boleh terjadi. Sebab, bagaimanapun kedatangan para pengungsi Rohingnya adalah kedatangan yang tidak dikehendaki oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Di samping itu, pemerintah Indonesia pun tidak punya keterikatan dengan Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) untuk menampung mereka sebagai pengungsi.
“Pemerintah dalam hal ini Indonesia harus tegas minta pertanggungjawaban kepada UNHCR dan harus segera dicarikan tempat yang sebagaimana menjadi tanggung jawab dari UNHCR,” jelas dia.
Sebelumnya, terdapat informasi mengenai ditangkapnya delapan pengungsi Rohingya di Nusa Tenggara Timur (NTT). Para pengungsi tersebut diketahui membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP) palsu. KTP itu disebut-sebut dibuat di Medan, Sumatra Utara.
Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin mengatakan, Pemerintah saat ini mewaspadai dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di balik gelombang pengungsi Rohingya masuk ke Indonesia. Hal ini menyusul terus datangnya kelompok etnis asal Myanmar ini ke Indonesia.
“Kita juga mulai mempelajari kenapa mereka itu datang ke sini. Kan Indonesia bukan negara tujuan saya kira itu, tapi negara semacam transit. Tetapi di sini menurut informasi itu ada TPPO juga,” ujar Wapres dalam keterangan persnya di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, Senin (18/12).
Karena itu, Pemerintah berupaya mencegah dugaan penyelundupan dan perdagangan manusia ini dalam masuknya pengungsi Rohingya ke Indonesia. “Kemudian juga mencegah kemungkinan terjadinya adanya usaha untuk mendatangkan oleh sindikat TPPO yang diduga ada di belakang kedatangan Rohingya itu. kita akan mewaspadai itu,” ujar Kiai Ma’ruf.
Wapres mengatakan, Pemerintah membiarkan masyarakat Rohingya masuk Indonesia karena dasar alasan kemanusiaan. Namun demikian, pemerintah menyadari masuknya masyarakat Rohingya menimbulkan persoalan mulai dari perlunya pembiayaan besar untuk menampung mereka hingga masalah gesekan dengan masyarakat sekitar dekat penampungan.
“Tentu ini juga memerlukan biaya besar ya, karena itu kita berkoordinasi dengan UNHCR yang punya tanggung jawab, bekerja sama dengan UNHCR dalam mencari tempat-tempat yang tepat (agar) jangan sampai mengganggu masyarakat sekitar,” kata Wapres.
Gelombang kedatangan pengungsi Rohingya masih terus terjadi di Aceh. Pada Ahad (10/12/2023), sekitar 315 orang pengungsi Rohingya kembali mendarat di Aceh yakni di wilayah pesisir Blang Raya Kabupaten Pidie, dan pantai Blang Ulam Kabupaten Aceh Besar.
Kedatangan pengungsi Rohingya itu pun merupakan gelombang ke-9 ke Aceh sejak November 2023. Titik yang didatangi imigran tersebut yakni di Kabupaten Pidie terjadi empat gelombang, Bireuen dan Aceh Timur masing-masing satu gelombang, Kota Sabang dua gelombang dan terakhir di Aceh Besar satu gelombang.
Gelombang kedatangan pengungsi Rohingya mulai gencar di Aceh sejak November 2022. Saat itu, sedikitnya 656 pengungsi Rohingya mendarat di Aceh. Jumlah pendaratan sepanjang November 2022-Januari 2023 tersebut saja sudah melampaui jumlah kedatangan sepanjang 2020 (395 orang), dan 2021 (186 orang). Belakangan, gelombang tersebut kembali terjadi sejak November 2023. Saat ini, jumlah pengungsi Rohingya di Indonesia hampir mendekati angka 2.000 jiwa.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut masalah pengungsi Rohingya menjadi salah satu isu yang masih relevan untuk dibahas dalam KTT ASEAN-Jepang. Isu ini, kata dia, bukan hanya menjadi masalah ASEAN, namun juga bagi negara-negara yang akan didatangi.
“Saya kira sangat relevan untuk dibicarakan karena ini juga bukan hanya masalah dunia bukan hanya masalah ASEAN, tetapi juga masalah negara-negara yang didatangi,” kata Jokowi dalam keterangannya sebelum lepas landas dari Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Sabtu (16/12).
Jokowi mengatakan, Malaysia memiliki masalah yang sama dengan Indonesia. Bahkan jumlah pengungsi Rohingya di Malaysia lebih banyak dibandingkan Indonesia.
“Malaysia memiliki problem yang sama dengan jumlah yang lebih banyak, kita juga memiliki problem yang sama dengan jumlah yang sekarang juga cukup lumayan banyak,” ujarnya.
Meskipun tidak berkewajiban menerima pengungsi Rohingya karena bukan negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, Indonesia memutuskan menampung para pengungsi asal Myanmar tersebut berdasarkan diplomasi kemanusiaan.
Oleh karena itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi terus menyerukan agar akar masalah pengungsi Rohingya bisa segera diselesaikan, sehingga tidak menimbulkan dampak lebih lanjut bagi sesama negara ASEAN.
Tak semua pengungsi
Sementara, Kepolisian Resor Kota Banda Aceh menyatakan tidak semua warga etnis Rohingya yang mendarat di Provinsi Aceh merupakan pengungsi, melainkan ada dugaan tindak pidana penyelundupan orang dalam pendaratan itu.
Kapolresta Banda Aceh Kombes Pol Fahmi Irwan Ramli, Senin, mengatakan salah satunya yakni pendaratan 137 orang warga etnis Rohingya di Pantai Blang Ulam, Desa Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar pada Ahad (10/12/2023). Polisi mendapati tidak semuanya mereka mempunyai kartu pengungsi dari UNHCR.
“Dari 137 Rohingya, bahwa yang terdampar beberapa waktu yang lalu itu, nggak semuanya pengungsi yang Cox’s Bazar,” kata Kombes Pol Fahmi saat jumpa pers kasus penyelundupan manusia di Banda Aceh seperti dikutip Antara.
Ia menjelaskan dari penelusuran polisi dalam rombongan sebanyak 137 orang Rohingya itu, terdapat dua orang di antaranya diketahui berkewarganegaraan Bangladesh, selebihnya warga negara Myanmar.
Mereka berangkat dari Cox’s Bazar Bangladesh bukan untuk mengungsi atau menyelamatkan diri, tetapi untuk mencari pekerjaan yang layak sebagai upaya memperbaiki hidup. “Dari pemeriksaan saksi-saksi (warga Rohingya) yang kita tanyakan, bahwa mereka datang ke negara tujuan dalam rangka memperbaiki hidupnya, untuk mencari pekerjaan,” ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, dari 137 warga Rohingya yang mendarat tersebut, ada beberapa orang di antaranya juga dibiayai oleh orang tua atau keluarganya. Namun, orang tua dan keluarganya tersebut masih berada di camp pengungsian Cox’s Bazar.
“Jadi artinya bisa kita simpulkan untuk sementara ini, bahwa mereka bukan dalam keadaan darurat, dari negara asal menuju Indonesia. Mereka punya tujuan yaitu mendapat kehidupan lebih baik dengan cara mencari pekerjaan di negara tujuan,” ujarnya.
Di samping itu, menurut Kapolres, hasil pendalaman yang dilakukan Polresta Banda Aceh pada saat awal-awal warga etnis Rohingya mendarat di Aceh, polisi mendapati bahwa Aceh atau Indonesia sebagai daerah persinggahan atau transit bagi mereka, yang tujuan akhirnya ialah Malaysia.
“Tapi akhir-akhir ini dari wawancara yang kita lakukan, eliciting yang kita lakukan, sekarang Indonesia itu menjadi negara tujuan untuk mendapatkan pekerjaan penghidupan yang lebih baik,” ujarnya.
Di sisi lain, Polresta Banda Aceh juga telah menetapkan seorang warga etnis Rohingya atas nama Muhammed Amin (MA) sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana penyelundupan manusia ke Indonesia.
MA diduga terlibat dalam penyelundupan sebanyak 137 orang Rohingya termasuk dirinya, yang mendarat di Pantai Dusun Blang Ulam, Desa Lamreh Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar, pada Minggu (10/12). Kini, para etnis Rohingya itu masih berada di parkiran bawah tanah Balai Meuseuraya Aceh (BMA) di Banda Aceh.
“Tersangka berinisial MA, umur 35 tahun asal Myanmar. Yang bersangkutan adalah pengungsi Camp 1 Blok H-88 Kutupalum, lokasi Penampungan Etnis Rohingya di Cox’s Bazar Bangladesh,” kata Fahmi. Kata dia, penyelidikan dan penyidikan dilakukan secara gabungan oleh Sat Reskrim Polresta Banda Aceh, Sat Intelkam Polresta Banda Aceh dan Dit Reskrimum Polda Aceh. Tersangka dijerat dengan Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Sumber : Republika.