Rupanya Ini Awal Mula Para Konglomerat Tionghoa Indonesia Ganti Nama

oleh -340 Dilihat
Foto : by sindonews.com

KILASBABEL.COM – Ada orang yang barangkali berpikir nama-nama pengusaha Indonesia seperti Djoko Susanto, Sudono Salim, Budi Hartono, Prajogo Pangestu, adalah “asli” sejak mereka lahir.

Namun, di balik penamaan itu, mereka sebenarnya adalah keturunan Tionghoa. Mereka pada awalnya punya nama Tionghoa, seperti pendiri Indomie Liem Sie Long (Sudono Salim) atau pendiri Alfamart Kwok Kwie Fo (Djoko Susanto). Hanya saja mereka terpaksa meninggalkan identitas Tionghoa karena aturan di masa Presiden Soeharto berkuasa.

Mengapa mereka punya nama lain selain nama lahir mereka?

Amy Freedman dalam “Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia” (2010) menjelaskan Soeharto ingin orang-orang Tionghoa melakukan asimilasi karena mereka dianggap sebagai bukan warga asli atau pribumi.

Alhasil, lahirlah Keputusan Presiden No. 240 Tahun 1967 tentang Kebidjaksaan Pokok Jang Menjangkut Warga Keturunan Asing. Lewat aturan tersebut, warga keturunan asing, termasuk etnis Tionghoa, diharuskan mengganti nama.

Sebagai catatan, saat itu memang segala sesuatu yang berbau China dipandang negatif. Alasannya tentu saja karena negara sentimen dengan komunisme, yang terkait dengan China, imbas peristiwa Gerakan 30 September.

Beranjak dari sinilah, orang-orang Tionghoa mulai mengubah nama mereka. Tujuannya tentu saja agar dianggap mereka bagian dari Indonesia dan sebagai bentuk kecintaan Tanah Air. Sejak saat itulah, nama-nama Tionghoa terpaksa ditinggalkan.

Tak hanya lewat aturan tersebut, Soeharto di tahun yang sama juga mengeluarkan Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Lebih jauh, aturan ini membuat kebudayaan Tionghoa harus ditinjau dan diwaspadai.

Ketakutan Soeharto terhadap China dan kebudayaannya jelas tidak baik. Sosiolog Mely G Tan dalam Etnis Tionghoa di Indonesia (2008) menyebut kebijakan tersebut melanggar hak asasi mengenai ekspresi kebudayaan suatu kelompok. Dalam hal ini kebudayaan Tionghoa jelas membuatnya terhapus.

Alhasil, selama 32 tahun Soeharto berkuasa, mereka tidak bisa lagi menyalurkan ekspresi kebudayaan mereka, termasuk juga berbahasa Mandarin dan merayakan Tahun Baru Imlek.

Bahkan, untuk sekedar keperluan administrasi penduduk, masyarakat etnis Tionghoa diharuskan memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dan surat K-4 sebagai bukti mereka benar-benar Warga Negara Indonesia.

Satu hal mencolok yang diperbolehkan oleh etnis Tionghoa di masa Orde Baru adalah berbisnis. Para pengusaha Tionghoa dianggap bisa memobilisasi jumlah modal besar dan punya keterampilan, serta pengetahuan untuk mengembangkan proyek dan perusahaan baru.

Atas dasar inilah, negara menjalin kerjasama dengan mereka. Lebih dari itu, menurut van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia (2012), jalinan bisnis pengusaha etnis Tionghoa jadi salah satu kunci pesatnya pertumbuhan ekonomi di masa Orde Baru.

Akan tetapi, kemunculan pengusaha Tionghoa yang kaya raya ini membuat orang menganggap seluruh etnis Tionghoa memiliki banyak uang. Padahal tidak semua. Anggapan ini kemudian memuncak di tahun 1998 saat orang Tionghoa jadi korban kerusuhan massal.

Beruntung aturan diskriminasi tersebut berakhir saat Orde Baru runtuh. Di awal reformasi, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan aturan yang mencabut seluruh aturan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang dikeluarkan Soeharto.

Orang Tionghoa bisa mengekspresikan kembali kebudayaannya secara bebas, termasuk juga perayaan Tahun Baru Imlek. Meski begitu, diskriminasi terhadap orang Tionghoa tidak serta merta hilang begitu saja karena sudah telanjur mengakar.

 

Sumber : cnbcindonesia.com

No More Posts Available.

No more pages to load.