Oleh :
Muhadam Labolo
(Penulis, Peneliti dan Guru Besar pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILASBABEL.COM – Ketika Jendral Besar A.H Nasution menawarkan pangkat tituler Mayjen kepada Ulama Besar Buya Hamka atas jasanya memobilisasi perlawanan rakyat pada Belanda, Ia menolak. Alasannya sederhana. Ia hanya ingin fokus pada bidangnya, berdakwah dan menulis. Atas ketekunannya, Hamka dikenang sebagai sastrawan hebat, selain mewariskan Tafsir Al Azhar.
Setahun lalu, Emil Salim diberikan penghargaan bergengsi Climate Hero Award dari Foreign Policy of Community Indonesia (FPCI). Ia menolak. Di atas panggung Emil beri tahu alasannya. Ia merasa gagal menjalankan konvensi Rio 1992. Sungguh, panitia tak menyangka, ada tokoh yang tak berkenan menerima simbol kehormatan di bidang itu.
Emil bukannya tak mau dihormati. Nuraninya menolak penghargaan itu, bahkan mengakui sebaliknya, gagal menyelamatkan bumi dari kerusakan lingkungan. Sikap itu justru memosisikan Emil lebih terhormat. Mantan Dubes USA, Dino Patti Djalal menobatkan Emil sebagai tokoh yang memiliki integritas di antara tokoh besar lainnya.
Sikap Buya dan Emil adalah cerminan integritas langka. Ada keikhlasan, kejujuran, keterbukaan dan keberanian menyatakan sesuatu yang lebih pantas ketimbang dirinya dalam menjaga nilai kehormatan. Mereka memperlihatkan integritas alami, tanpa dipaksa, lewat kesadaran mendalam. Keduanya memperlihatkan kelasnya di usia senja, di eranya masing-masing.
Kata Robert Caruso, kehormatan adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang dalam bentuk jabatan, gelar dan pangkat. Dalam masyarakat terdapat gelar dan jabatan yang disematkan menurut konsensus sosial. Ada gelar adat dan agama, seperti Tuan Guru, atau Kyai. Pada ruang formal ada profesor, doktor, bahkan jenderal kehormatan. Semua diberikan dengan alasan tertentu.
Gelar, jabatan, dan pangkat kehormatan itu diberikan tanpa harus melewati jenjang yang semestinya. Mereka diakui benar-benar memiliki kelebihan luar biasa seperti seorang produser film Hollywood, atau peraih nobel. Hal yang sama diberikan pada sejumlah profesi karena tak menerima bayaran apapun sebagaimana anggota parlemen di sejumlah negara.
Pada posisi itu seseorang dilabeli kehormatan. Mereka yang berpotensi dihormati dalam masyarakat di sebut honorable. Kata itu berasal dari honor, yang artinya menghormati. Pantas saja anggota parlemen dipanggil dewan yang terhormat. Cara lain untuk mengatakan hanya dalam nama, gelar, nominal, tidak resmi, tidak digaji, atau tidak dibayar.
Konsekuensi itu membuat anggota parlemen tak digaji, kecuali honor, sekedar pengganti ungkapan rasa hormat. Mereka mempertaruhkan kehormatan untuk masuk parlemen, bukan sebaliknya, menjadikan profesi politikus sebagai broker, atau lahan mencari keuntungan pribadi dan kelompok. Di situlah mereka tuna kehormatan.
Kehormatan tak perlu dicari lewat simbol formalistik. Itu hanya menunjukkan upaya menutupi kelemahan diri. Seorang kepala daerah yang kerjanya hanya mencari-cari simbol kehormatan dari berbagai bidang faktanya sebaliknya, nirprestasi. Setiap perangkat daerah disuruh melobby untuk dapat penghargaan. Gejala ini menciptakan penyakit akut, suap-menyuap.
Kehormatan semacam itu instant. Prosesnya tak alamiah. Ditransaksikan untuk menyenangkan pemimpin. Asal Bapak Senang, lewat rupa-rupa gelar, sertifikat, brevet, dan pin penghormatan. Ironinya, kian banyak penghargaan makin sulit mempertahankan. Bahkan, sejumlah kepala daerah dengan puluhan simbol kehormatan itu berakhir di tahanan.
Kehormatan biasanya muncul lewat praktek integritas. Gelar Al Amin Nabi Muhammad Saw bukan dipromosikan oleh timses, namun pancaran perilaku saban hari yang mengendap lewat interaksi kehidupan. Terjaga hingga akhir hayat. Di Asia Timur seperti Jepang, Korsel dan China, kehormatan merupakan hal sakral. Tak heran bila seringkali pejabat mengundurkan diri, bahkan bunuh diri hanya karena lalai menjaga kehormatan. (*)