Oleh :
Muhadam Labolo
(Penulis, Peneliti dan Guru Besar pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILASBABEL.COM – Salah satu tugas esensial pemerintah adalah melindungi. Melindungi warga dari ancaman sesama, dalam dan di luar kelompok (baca; negara). Dalam negara kita butuh kehadiran polisi. Tugas utamanya melindungi warga dari kejahatan sesama warga dalam negara. Setiap negara meletakkan fungsi itu dalam konstitusi, termasuk Indonesia (preambule, alinea ke 4).
Pada makna itu, polisi jamak berada dalam kendali eksekutif mulai presiden, gubernur hingga walikota. Menimbang fungsi itu pula, kuasa polisi melekat pada tingkatan pemerintahan. Di sejumlah negara, polisi lazim di kontrol kementrian dalam negara, kementrian hukum, atau kementrian tersendiri.
Mengingat ancaman warga pada tiap level pemerintahan berbeda dan khas. Organ polisi biasanya beradaptasi dengan konteks ancaman dalam negara. Tak heran bila ada polisi wisata, polisi wanita, polisi hutan, polisi perda, polisi syariah, polisi cyber, hingga polisi pajak. Perkembangan crime memungkinkan polisi mengembangkan organisasinya.
Semua itu meyakinkan kita bahwa kejahatan dalam negara butuh polisi profesional guna menciptakan ketentraman dan ketertiban umum (social order). Kecuali itu, status sipil dapat menjadi status darurat militer bila keadaan bersifat force mayor. Pengecualian ini lazim diterapkan sebagai tanggungjawab negara dimasa krisis.
Di batas negara, kita butuh militer. Tugasnya melindungi warga dari ancaman luar. Mengingat fungsinya yang kompleks, institusi militer biasanya berada dalam satu garis komando.
Militer tak melekat pada tingkatan pemerintah lokal seperti polisi. Organ militer berdiri netral menghadapi musuh. Meski begitu, Ia tunduk pada otoritas sipil sebagai pemandu politik dalam bidang pertahanan.
Sebagai kepala negara dan pemerintahan, eksekutif punya kuasa mengendalikan keduanya. Meski otoritas bergantung pada persetujuan rakyat lewat parlemen, namun eksekutif punya kewenangan penuh mengoperasikan alat negara. Apalagi include sebagai panglima atau kepala kepolisian tertinggi. Disini perlu kontrol agar tak melampaui batas kewenangan.
Kata Hobbes (1651), kita butuh polisi dan militer untuk melaksanakan fungsi melindungi. Tanpa itu, pemerintahan tak lebih sebagai cermin natural of law. Satu kondisi homo homini lupus, bahkan bellum omnium contra omnes.
Hilangnya netralitas polisi dan militer tak hanya mendorong meningkatnya ancaman bagi warga, juga antar aparat penegak hukum. Kasus Densus 88 vs Jampidsus satu pelajaran.
Sebagai konsekuensi fungsi itu, polisi dan militer diletakkan sebagai institusi paling netral. Dalam makna tunduk pada politik negara. Ia praktis dibutuhkan untuk menjalankan dua fungsi utama, baik dalam situasi normal, maupun abnormal.
Pada kondisi normal, di luar dua fungsi di atas, semua fungsi pemerintahan sepenuhnya dilaksanakan oleh otoritas sipil. Lebih lagi dalam sistem negara demokrasi.
Polisi dan militer berkewajiban memastikan terjaminnya keamanan dan pertahanan negara. Tanpa jaminan itu, polisi dan tentara aktif sebaiknya tak melaksanakan fungsi lain, kecuali standby di barak.
Memberi peran luas bagi polisi dan tentara dalam ruang sipil sama halnya membiarkan warga terancam dari serangan internal dan eksternal. Kritiknya, jangan sampai fungsi primernya abai demi tujuan sekunder.
Tugas hakiki polisi dan tentara bukan di luar dua fungsi utama di atas. Itu hanya mungkin jika situasi darurat. Bila semua polisi dan tentara masuk dan melimpah di ruang sipil, bisa diyakini mengapa keamanan negara (terorisme) dan pertahanan negara (separatisme) tak kunjung tuntas. Kesan publik, ruang sipil tempat pelarian dari perasaan frustasi karena gagal mengemban fungsi elementernya.
Surplus usia produktif polisi dan tentara sebaiknya dialokasikan lewat pengembangan organisasi militer dan kepolisian yang lebih spesifik. Bukan menyusup ke hampir semua organ sipil yang bukan kompetensinya.
Pelayanan sipil butuh kemampuan khas dari sekedar menggunakan ilmu keamanan, perang, intelejen, dan strategi teritorial. Otoritas sipil butuh kecakapan teknis yang berbeda.
Dalam situasi damai, ruang sipil lebih butuh prosperity, dibanding security. Cara melihat masyarakat lebih sebagai kawan, bukan lawan. Ruang sipil adalah wadah interaksi dengan kebebasan beradab, bukan ruang interogasi penuh ancaman. Ruang sipil tempat dimana warga mengelola rumah tangga secara otonom, bukan tempat melapor tiap bulan seperti tahanan rumah.
Negara demokrasi berbentuk kesatuan desentralistik seperti Indonesia butuh otoritas sipil yang cerdas melayani. Bukan polisi dan tentara yang dipaksa melayani sebagaimana negara otoriter-fasis bernuansa sentralistik. Konsep machstaat sudah lama bergeser ke welfarestate sekalipun fungsi negara penjaga malam tetap diadopsi menurut hak-hak kemanusiaan.
Era orde baru adalah contoh nyata bagaimana krisis dan kecemasan warga dipelihara sepanjang rezim Soeharto berkuasa dengan mengusung Dwi Fungsi ABRI. Kebijakan ini telah mereduksi peran otoritas sipil hingga ke level terbawah, camat, lurah dan kepala desa. Mekanisme otoritarian bekerja sepanjang waktu meneror rakyat demi tujuan rezim. Menang dengan segala cara.
Hasilnya, kerusakan struktural dan kultural butuh terapi lama. Malangnya, sejak kejatuhannya (1998), semua gejala yang dicemaskan publik kini berulang. Kemenangan bisa di tebak sebelum dimulai. Alat negara dicuriga tak netral.
Sumber daya dikeruk sekelompok oligarki berkat dukungan orang dalam. Teror tak pernah usai, separatis tak juga reda. Polisi dan tentara bahkan dinilai tak bernyali dihadapan Kelompok Kriminal Bersenjata, meski ditunjang oleh materi dan peralatan canggih.
Fungsinya kini melempem. Terbuai godaan jabatan sipil yang menggiurkan. Mereka disangka gagal mengemban fungsi melindungi (keamanan dan pertahanan) yang justru menjadi alasan mengapa eksistensi mereka dibutuhkan.
Migrasi ke ruang sipil justru menambah masalah baru. Setidaknya terdapat gap soal tujuan, orientasi, mekanisme rekrutmen, pendekatan, serta urgensi terhadap urusan pemerintahan.
Akhirnya, publik berharap revisi UU Polri dan TNI wujud penguatan kapasitasnya, bukan sebaliknya. Mengingat salah satu agenda reformasi ’98 adalah mengembalikan posisi polisi dan tentara ke barak agar profesional, netral, independen, dan integrator bangsa. Bila kini mereka di ajak kembali keluar barak, tentu banyak faktor yang dapat dibaca.
Pertama, pemerintah (eksekutif, legislatif dan yudikatif) sebagai inisiator kebijakan kehilangan memori histori dan orientasi atas fungsi polisi dan tentara. Kedua, pelayanan pemerintah diasumsikan darurat dan gagal hingga perlu di take over polisi dan tentara aktif.
Ketiga, perangkat dan kultur negara sedang dipaksa bergerak ke sistem lama (otoritarianisme). Wewenang menguntit, menyadap, bahkan memutus jaringan tertentu cukup menjadi penanda.
Keempat, pemerintah gagal menunaikan agenda reformasi dengan membangkitkan kembali dwi fungsi pasca terkubur 26 tahun silam. Kelima, pemerintah gagal mengembangkan organisasi polisi dan militer untuk menjawab tugas-tugasnya yang terus berkembang.
Realitas ini mendorong polisi dan tentara mengadu nasib ke ranah sipil. Keenam, pemerintah gagal menjaga netralitas, independensi, dan fungsi integrator polisi dan militer. Dengan semua pertimbangan itu, sebaiknya polisi dan tentara kembali ke posisi awal, menjadi garda terdepan atas fungsi fundamentalnya, melindungi rakyat. Bukan melindungi kepentingan orang-perorang dan kaum pemegang modal. (*)