KILASBABEL.COM – Para ulama sepakat, wanita bepergian ditemani oleh suaminya, ayahnya atau mahramnya. Ada sedemikian banyak hadits Nabi Muhammad SAW yang menekankan hal itu.
Muncul pertanyaan bolehkah seorang wanita melaksanakan ibadah haji tanpa ditemani suami atau mahramnya? KH Ahmad Sarwat Lc pada laman Rumah Fiqih menjawab pertanyaan tersebut.
Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata bahwa aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan wanita kecuali jika ada mahramnya. Janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya.”
Ada seorang yang berdiri dan bertanya, “Ya Rasulullah SAW, istriku bermaksud pergi haji padahal aku tercatat untuk ikut pergi dalam peperangan tertentu.”
Rasulullah SAW bersabda, “Pergilah bersama istrimu untuk haji bersama istrimu.” (HR Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Ahmad)
Pengertian yang langsung terpikir di kepala kita jika membaca hadits ini adalah bahwa kalau kewajiban ikut jihad fi sabilillah saja bisa dibatalkan karena harus mengantar istri pergi haji, berarti menemani istri pergi haji itu jauh lebih penting dan lebih diutamakan dari jihad fi sabilillah.
“Padahal kita tahu bahwa jihad fi sabilillah itu sangat tinggi nilai pahalanya di sisi Allah. Tetapi Rasulullah SAW lebih memprioritaskan agar seorang suami mengantarkan istrinya pergi haji,” ujar KH Ahmad Sarwat.
Sehingga para ulama umumnya mengharamkan wanita sendirian pergi haji ke Tanah Suci dengan dasar hadits di atas. Apalagi bepergian di luar keperluan haji, tentu saja jauh lebih terlarang lagi jika tanpa ditemani.
Hal itu juga diungkapkan oleh Ibrahim An-Nakha’i ketika seorang wanita bertanya via surat bahwa dia belum pernah menjalankan ibadah haji karena tidak punya mahram yang menemani. Maka Ibrahim An-Nakha’i menjawab bahwa anda termasuk orang yang tidak wajib untuk berhaji. Kewajiban harus adanya mahram di atas adalah sebuah pendapat yang dipegang dalam mazhab Hanafi dan para pendukungnya. Juga pendapat An-Nakha’i, Al-Hasan, At-Tsauri, Ahmad dan Ishaq.
Pendapat Ulama yang Berbeda
Namun pendapat ini meski mewakili pendapat jumhur (mayoritas) ulama, namun bukan berarti satu-satunya pendapat yang boleh diterima. Ada sebagian ulama yang berpandangan sedikit berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh mayoritas ulama.
Seorang wanita boleh bepergian untuk haji asal ada sejumlah wanita lain yang tsiqah (dipercaya). Ini adalah pendapat yang didukung oleh Imam Asy-Syafi`i. Bahkan dalam satu pendapat beliau tidak mengharuskan jumlah wanita yang banyak tapi boleh satu saja wanita yang tsiqah. Bahkan dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa cukup seorang wanita pergi haji sendirian tanpa mahram asal kondisinya aman.
Namun semua itu hanya berlaku untuk haji atau umroh yang sifatnya wajib. Sedangkan yang sunnah tidak berlaku hal tersebut. Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan bahwa suatu ketika akan ada wanita yang pergi haji dari kota Hirah ke Makkah dalam keadaan aman.
Rasulullah SAW bersabda, “Wahai ‘Adi, jika umur kamu panjang, wanita di dalam haudaj (tenda di atas punuk unta) bepergian dari kota Hirah hingga tawaf di Kabah tidak merasa takut kecuali hanya kepada Allah saja.” (HR Imam Bukhari).
Selain itu pendapat yang membolehkan wanita haji tanpa mahram juga didukung dengan dalil bahwa para istri Nabi pun pergi haji di masa khalifah Umar bin Khattab Radhiyalahu anhu, setelah diizinkan oleh beliau. Saat itu mereka ditemani Utsman bin Affan ra dan Abdurrahman bin Auf Radhiyalahu anu. Demikian disebutkan di dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari.
Ibnu Taimiyah sebagaimana yang tertulis dalam kitab Subulus Salam mengatakan bahwa wanita yang berhaji tanpa mahram, hajinya sah. Begitu juga dengan orang yang belum mampu jika pergi haji maka hajinya sah.
Sumber : Republika.