Oleh :
Muhadam Labolo
(Penulis, Peneliti dan Guru Besar Ilmu Pemerintahan pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILASBABEL.COM – Rencana pemerintah membagi izin kelola tambang kepada organisasi masyarakat (ormas) tertentu menuai kritik. Bukan saja dari elemen masyarakat, juga sejumlah ormas itu sendiri. Ormas sekelas Muhammadiyah, PGI, NWDI, KWI, HKBP, dan PMKRI memperlihatkan sikap tegas, menolak.
Alasannya sederhana, ormas keagamaan semacam itu tak di desain untuk mengelola tambang, tapi lebih soal bagaimana mengelola kerukunan antar dan inter umat beragama. Bila ormas ikut mengurusi tambang, lalu siapa yang mengurus umat masing-masing? Jangan-jangan kementrian yang urus tambang juga kehilangan pekerjaan.
Mungkin PBNU satu-satunya yang menerima dengan sukacita. Ormas PHDI butuh waktu untuk mengkaji. Alasan pemerintah, ormas telah memperlihatkan bakti yang panjang bagi nusa dan bangsa. Reasoning itu tentu sulit diterima, lantaran tak sedikit ormas punya kontribusi relatif sama bagi pemajuan bangsa ini.
Lagi pula, bila semua ormas menuntut hak yang sama, persoalannya mampukah pemerintah memfasilitasi semua kepentingan tersebut? Tentu ini bukan perkara gampang, kecuali pemerintah dan oligarchi sengaja menyandera ormas di kubangan tambang agar tak perlu galak terhadap setiap kebijakan.
Lalu kepada siapa sebaiknya tambang dikelola? Pasal 33 ayat (2-3) konstitusi ’45 mengamanahkan cabang produksi yang penting, termasuk bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara, dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Personifikasi konkrit negara jelas hanya pemerintah.
Organ pemerintah pada kenyataannya hanya dua, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat bisa bekerja dari pusat, dan dapat pula bekerja di daerah melalui kaki-tangannya. Salah satu kaki-tangannya adalah gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah. Sisanya organ dan person yang secara dekonsentratif-fungsional maupun absolut ditempatkan hirarkhis di daerah.
Bila pemerintah pusat tak sanggup mengelola tambang yang sedemikian banyak dan jauh, cara mengelola paling efisien dan efektif cukup didesentralisasikan ke pemerintah daerah. Disinilah makna desentralisasi, salah satunya agar upaya merealisasikan kemakmuran rakyat dapat dilakukan melalui pemerintah di level terbawah.
Bila pemerintah daerah benar-benar tak sanggup mengelolanya, cara terakhir dengan melakukan privatisasi (Rondinelli, 1981). Terlepas dari itu pengelolaan tambang merupakan domain pemerintah yang secara teknis dapat dikelola bersama, termasuk pembagian revenue dan tax yang adil. Bukan jadi milik ormas, apalagi sekelompok preman.
Daerah-daerah penghasil tambang semestinya menikmati lebih besar profit dari hasil eksploitasi. Artinya, tetesan kemakmuran itu dapat dirasakan langsung oleh pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Bukan berharap belas kasih dari sekedar dana bagi hasil yang kecil plus CSR. Tak heran tingkat ketergantungan daerah tetap tinggi sekalipun berotonomi.
Penarikan sejumlah urusan pemerintah daerah yang bersifat vital lewat UU Cipta Kerja dan Minerba menunjukkan pemerintah kehilangan orientasi soal bagaimana cara memakmurkan rakyat di level terjauh. Kebijakan itu sekaligus memperlihatkan bagaimana pemerintah kewalahan mengelola urusan yang seharusnya menjadi urusan rumah tangga daerah (otonomi daerah).
Menyerahkan tambang kepada ormas tak hanya sarat kepentingan politik, juga hilangnya profesionalisme pemerintah mengelola kekayaan negara. Bisa dimaklumi bila kritik atas kebijakan tersebut menjadi liar, termasuk upaya melepas aset dan izin usaha kepada asing dan aseng. Ironisnya, sejumlah tambang telah di keruk bertahun-tahun oleh warga negara asing secara ilegal. Pemerintah seakan tutup mata.
Pemerintah seharusnya tak menarik izin tambang dari pemerintah daerah, tapi menata kembali tata kelolanya. Khususnya pengawasan dan pembagian keuntungan, serta pajak yang wajib di setor ke pemerintah. Mekanisme ini lebih konstitusional dibanding menyerahkan pada ormas yang berpotensi ilegal, tak profesional, serta mengundang konflik laten di tengah masyarakat.
Sebaiknya, sebelum tata kelola tambang semakin runyam, negara sesegera mungkin menyerahkan kembali ke pemerintah daerah sesuai semangat otonomi. Dengan kuasa tambang mereka tak perlu minta mekar, apalagi menuntut merdeka. Mereka cukup mengelola sebaik mungkin buat kemakmuran rakyat daerah. Tentu saja lewat supervisi ketat pemerintah. (*)