KILASBABEL.COM – Ujian akhir bagi pelajar sekolah menengah di Jalur Gaza biasanya dianggap sebagai pintu gerbang untuk mengejar impian dan ambisi. Namun, konflik yang sedang berlangsung di Gaza telah membuat banyak siswa kehilangan kesempatan penting ini.
“Seharusnya saya ikut ujian,” kata Rafea Iyad dengan nada kecewa, sembari menunjukkan foto teman-temannya dalam pekan ujian baru-baru ini.
Pada Sabtu (22/6), lebih dari 50.000 pelajar Palestina di Tepi Barat mengikuti putaran pertama ujian sekolah menengah atas (SMA) tahun ajaran 2023-2024, sementara sekitar 39.000 pelajar dari Gaza tidak hadir karena konflik yang sedang berlangsung, menurut Kementerian Pendidikan Tinggi Palestina yang berbasis di Ramallah.
“Alih-alih memulai perjalanan saya menyongsong masa depan, saya malah terdampar di sini, di kamp-kamp pengungsian, tanpa kepastian akan nasib saya di tengah konflik yang menghancurkan ini,” keluh Iyad.
“Bagi pelajar Palestina, ujian SMA merupakan momen yang menentukan, yang membentuk nasib kami. Ujian itu menjadi kunci untuk mengakses pendidikan universitas atau mengejar peluang di luar negeri,” jelasnya.
Iyad bercita-cita masuk ke Fakultas Kedokteran di Universitas Islam Gaza dan kemudian menjadi ahli kardiologi. Kini, mimpi itu hancur berantakan.
“Semua yang ada di Gaza telah hancur. Bukan hanya kehidupan sehari-hari dan bangunan, tetapi harapan dan cita-cita kami juga telah hancur,” imbuhnya.
Tamer Mansour, siswa lain dari Gaza, mengungkapkan kekecewaan karena dirinya tidak dapat mengikuti ujian akhir. “Setelah 11 tahun mengenyam pendidikan, saya dan keluarga saya membayangkan bisa lulus ujian ini dan mendapatkan jalan untuk masuk ke universitas. Namun, saya telah kehilangan semua impian saya, termasuk cita-cita untuk menjadi seorang insinyur,” ujar siswa berusia 18 tahun ini.
Hingga 17 Juni, konflik tersebut telah mengakibatkan hancurnya 110 sekolah dan universitas, dengan 321 sekolah dan universitas mengalami kerusakan parsial. Perang tersebut telah merenggut nyawa lebih dari 10.000 pelajar, menurut kantor media yang dikelola Hamas di Gaza.
Mansour dan keluarganya meninggalkan rumah mereka di Gaza City untuk mencari tempat yang lebih aman di Kota Deir al-Balah di Gaza tengah. Mengungsi dan tanpa penghasilan yang dapat diandalkan, Mansour saat ini bekerja sebagai pedagang kaki lima untuk membantu menghidupi keluarganya yang terdiri dari delapan orang. “Saya kini memiliki tantangan yang jauh lebih sulit ketimbang meraih nilai bagus dalam ujian, yaitu bertahan hidup,” tuturnya.
Konflik di Gaza menimbulkan dampak yang sangat buruk terhadap sistem pendidikan. Sekolah-sekolah rusak atau hancur, dan banyak guru serta siswa yang tewas atau mengungsi.
Hingga 17 Juni, konflik tersebut telah mengakibatkan hancurnya 110 sekolah dan universitas, dengan 321 sekolah dan universitas mengalami kerusakan parsial.
Perang tersebut telah merenggut nyawa lebih dari 10.000 pelajar, menurut kantor media yang dikelola Hamas di Gaza.
Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) pada Minggu (23/6) mengatakan bahwa militer Israel mengebom 69 persen sekolah yang menampung para pengungsi di Gaza.
Dalam sebuah pernyataan terpisah pada 21 Juni, badan PBB tersebut menyatakan bahwa lebih dari 76 persen sekolah di Gaza membutuhkan rekonstruksi atau rehabilitasi besar-besaran agar dapat beroperasi kembali. Diperlukan waktu bertahun-tahun, bahkan mungkin puluhan tahun, untuk mengatasi kemunduran pendidikan yang disebabkan oleh konflik tersebut.
Meskipun terjadi kekacauan, Mansour tetap bertekad melanjutkan pendidikannya. “Meskipun kami memiliki prioritas lain saat ini, kami tetap berpegang teguh pada pendidikan,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa harapan untuk masa depan Gaza terletak pada pembelajaran.
Sumber : Xinhua