Negara dan Penderita Pajak

oleh -85 Dilihat
Muhadam Labolo. (ist)

Oleh :

Muhadam Labolo

(Penulis, Peneliti dan Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri)

 

KILASBABEL.COM – Mungkin tak ada yang paling menggelisahkan bagi warga dalam hidup bernegara, sejak dulu hingga kini, kecuali pajak. Sedemikian mencemaskan hingga pajak dan kematianlah yang paling menakutkan bagi warga Amerika. Pajak salah satu konsekuensi hidup bernegara.

Negara dan pajak ibarat dua sisi mata uang. Sulit dipisahkan. Semakmur apapun sebuah negara, rakyat menyisihkan sedikit-banyak keuntungan buat negara. Negara dengan pajak rendah lazim bergantung pada sumber daya alamnya. Sebaliknya, negara minus sumber daya alam bergantung pada pajak pendapatan warganya.

Beberapa negara kaya di timur tengah bertumpu pada sumber daya alamnya. Itulah mengapa pungutan pajak ke warganya kecil seperti Qatar. Ada pula yang bersandar pada pendapatan warganya seperti Pantai Gading, Finlandia, dan Jepang. Bandingkan dengan Indonesia sebagai salah satu negara besar dengan kekayaan melimpah, pajak masih jadi keluhan.

Tak ada cara paling efektif mengumpulkan pajak kecuali menadah pada rakyat. Semua itu tentu melalui konsensus bernegara yang dilaksanakan pemerintah. Lewat berbagai mekanisme pemerintah menarik pajak. Kesadaran idealnya, pajak wujud kepedulian warga, partisipasi, kontrol, keadilan, dan tanggung jawab bernegara.

Dalam pandangan spiritual pajak punya nilai moral. Nemo (2022) menjelaskan bahwa mengambil dari orang kaya adalah hal wajar, perlu, bahkan adil untuk kepentingan kolektif. Atas keyakinan itu muncul ragam pajak progresif dan subsidi guna mencapai keseimbangan bernegara. Kaya menyantuni miskin.

Konsekuensi itu berakibat orang kaya menanggung pajak progresif. Sebaliknya, kaum papa beroleh subsidi dan keringanan. Menerapkan pajak pada kaum miskin sama artinya menyedot modal hidupnya. Kritik Nozick dalam Anarcy, State, & Utopia (1974), pajak terhadap penghasilan tenaga kerja setara dengan kerja paksa.

Pajak dengan alasan keyakinan relatif dapat diterima. Faktanya zakat dalam agama lebih disukai sebagai kewajiban dibanding pajak di negara sekuler. Lanjut Nemo, pajak dengan alasan kepentingan bisa jadi masalah. Masalah kemanfaatan bagi sekelompok orang yang bahkan menyukai praktek itu tanpa tau untuk apa digunakan.

Realitas itu tak jarang mengulik rasa keadilan. Kelompok miskin menjadi kelas paling menderita sebagai pekerja (workers). Sementara kelompok kaya bukan tanpa gangguan. Pada titik tertentu jatuh miskin setelah disita karena gagal bayar pajak. Angka bunuh diri di negara makmur seperti Swedia dengan pajak penghasilan mencapai 57% mungkin punya korelasi.

Memahami itu pemerintah berpikir ekonomis. Mengelola orang kaya dalam bentuk family office. Mereka di kandang dalam sebuah kawasan bebas pajak seperti Singapura, dengan syarat berinvestasi. Tujuannya memanfaatkan modal berlimpah agar negara dapat untung. Pajak diambil dari investasi minimal agar kelompok kapital itu tak merasa dipajak saban hari.

Lalu siapa penderita pajak? Kata Cicero (43 SM), bagian terbawah adalah kelompok pekerja. Hasil kerja produktifnya beralih pada kaum kapital. Kapitalis menggaji birokrasi (termasuk polisi dan tentara) untuk mengamankan proses produksinya. Agar kaum miskin tak berulah, agamawan dan cerdik-pandai diupah untuk membangun kesabaran dan keuntungan logis (Marx, 1883).

Puncak berikutnya adalah pengacara (lawyer) yang bertugas memediasi bila ketidakpuasan mencapai titik didih. Di tangga selanjutnya ada dokter yang bersiap merawat semua penderitaan fisik dan psikis dari interaksi tiap kelompok. Namun di bagian puncak rantai eksploitatif itu berdiri enteng politisi yang mendesain aturan agar tiap kelompok pada akhirnya bayar pajak dan tunduk pada mereka. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.