Demoralisasi Peradaban Bangsa

oleh -183 Dilihat
Muhadam. (ist)

Oleh :

Muhadam Labolo

(Penulis, Peneliti dan Guru Besar Ilmu Pemerintahan pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)

 

KILASBABEL.COM – Demoralisasi peradaban bangsa kian mendekati tubir. Setidaknya dari lunturnya identitas berbangsa hari-hari ini. Demoralisasi menyentuh bagian sensitif perilaku, simbol, instrument, serta tujuan bernegara. Keseluruhan variabel itu ciri kebudayaan. Kebudayaan cermin peradaban. Peradaban maju atau mundur bergantung parameter tersebut. Setidaknya dengan membandingkan kualitas peradaban era Orla, Orba dan Reformasi.

Perilaku berbangsa dipenetrasi oleh wabah korupsi. Korupsi bukan lagi penyakit kurap yang menjangkiti elit, kini menyentuh alit di lapis bawah. Dalam rentang 2005-2023 tercatat 449 kepala daerah/Waka, 503 anggota DPR/DPRD, 27 kepala lembaga/menteri, 5 ketua umum partai, serta 2.496 birokrat di buih (Prasodjo, 2024). Itu di luar setahun terakhir. Trend korupsi meningkat meski Indeks Persepsi Anti Korupsi turun 0,07 point (ICW, BPS, 2024).

Demoralisasi etik kaum elit dipertontonkan tak hanya sekali. Setiap hari berkali-kali. Kasus Ketua KPK, MK, KPU, Menteri, hingga eselon satu terasa membosankan. Jabatan selalu bertalian dengan harta. Harta tak jauh dari perimeter selangkangan. Seorang mantan deputi memperlihatkan bagaimana kelihaiannya meloloskan diri dari status buron selama 11 tahun dengan kekayaan mencapai lebih dari 25,14 milyar (LKHPN, 2024).

Elit memproduksi apa-apa yang ideal bagi masyarakat. Tak tanggung-tanggung, mereka memproduksi kebijakan dan memutus perkara sistem nilai. Memberantas korupsi seraya hidup dari upah korupsi. Menegakkan konstitusi sembari merusak tatanan hukum. Menyiapkan pemilu sekaligus mencoblos dimana-mana. Mendesain reformasi kultural ASN berakhlak sekalipun hidup tuna-akhlak. Seakan meramu racun dengan cara menenggak racun agar kebal.

Kerusakan peradaban kini melanda lapisan berikutnya, kelompok korporasi dan masyarakat sipil. Korporasi menyedot kekayaan negara lewat berbagai cara. Setidaknya pada kasus PT Timah sebesar 300 triliun (Wijaya, 2024). Over all, kerugian negara sepanjang 2020-2022 dalam kasus pertambangan diperkirakan mencapai 500-750 triliun pertahun (Chaniago, 2024). Itu hanya satu sektor di tengah kondisi BUMN yang sekarat dimana-mana.

Lapis terbawah menikmati bagian remahnya lewat pesta lokal bernama pilkada. Sikap permisif atas peradaban koruptif ditunjukkan terang-terangan lewat spanduk, kami siap menerima serangan fajar. Indeks Persepsi Anti Korupsi kaum alit sejalan dengan tingkat pendidikannya. Di atas SLTA mencapai 3,97. Di bawah SLTA mencapai 3,81 (BPS, 2024). Gagasan kandidat hanya semacam prasyarat komika, semua mesti dibungkus amplop.

Serangan terhadap peradaban bangsa juga terjadi lewat digitalisasi. Negara dengan ciri agamis tak berkutik dihadapan aplikasi judi online. Berada di urutan pertama pemain judi online tertinggi di dunia. Posisi itu menempatkan Jawa Barat, Jakarta, Jateng, Jatim dan Banten sebagai 5 provinsi terbanyak. Ironisnya, praktek haram itu diikuti lebih dari 1000 wakil rakyat di daerah dan pusat (PPATK, 2024).

Simbol bernegara mengalami pelemahan. Seakan peradaban koruptif adalah bukti gagalnya idiologi negara. Sekelompok kecil warga mencoba mempromosikan idiologi alternatif. Sebuah peradaban klasik, utopis, dan terkubur yang dibangkitkan lewat doktrin. Satu peradaban yang menawarkan ikatan identitas berdasarkan keyakinan dibanding perasaan senasib sepenanggungan dan harapan hidup sejahtera dimasa depan.

Nasionalisme di kritik tak relevan di tengah kemiskinan dipelihara negara, bansos buktinya. Kapitalisme sumber kesenjangan sosial, Projek Strategis Nasional faktanya. Sosialisme hanya kebisingan, kekayaan dan obesitas elit realitasnya. Liberalisme apalagi, sumber masalah yang melabrak prinsip-prinsip kesantunan bernegara. Idealisme mengendap di benak, sosialisme di mulut, kapitalisme di perut, liberalisme konon di bawah perut kaum elit.

Instrumen negara pun mengalami pelapukan. Aparat kehilangan orientasi untuk apa mereka melayani negara. Profesionalisme hanya kamuflase, nyatanya Tentara dan Polisi seakan kehilangan profesionalitas hingga merangsek kemana saja. Meritokrasi hanya teori, bergantung siapa orang dalam. Peradaban kini membolehkan kita menjadi pemimpin meski tak cukup umur. Cukup mengubah aturan untuk duduk di meja kekuasaan sambil bermain mobil-mobilan.

Peradaban etik yang mengutamakan proses dibanding hasil kian langka. Para pesohor dan pejabat struktural mengubah diri menjadi guru besar dengan cara instan. Gejala memperbesar kuasa lewat simbol akademik di tempuh dengan menghalalkan segala cara. Ketidakjujuran ilmiah itu menempatkan peradaban intelektual di posisi kedua di bawah Kazakstan (Tempo, 2024). Mungkinkah kenyataan itu punya relasi dengan IQ bangsa yang hanya selevel dengan sepupu Gorilla (75-95)?

Tujuan negara mengalami semacam fantasi. Antara meraih sungguh-sungguh menuju era keemasan atau kecemasan. Kemerosotan peradaban seakan meragukan semua upaya meraih tujuan. Kesejahteraan sebatas menikmati rasa di lidah, belum sampai kenyang di perut. Makan bergizi perlu percobaan dengan harga sepadan. Tujuan negara bukan saja kehilangan kompas, juga kehabisan tenaga akibat mekanisme demokrasi yang mahal, panjang, dan melelahkan.

Semua gejala kemerosotan peradaban itu patut direnungkan kembali. Setidaknya di akui, inilah realitas kebudayaan kita hari-hari ini yang tak hanya di lihat dari kemajuan pembangunan (artefak), juga cara berpikir (idiologi) dan ketinggian akhlak-perilaku (moralitas). Pada dua hal terakhir itu, kita sepatutnya malu menemukan para elit di pemerintahan, korporasi, dan organisasi masyarakat yang menunjukkan kebudayaan-peradaban sebaliknya.

Dengan menyebut pemimpin seperti Hatta dan Menteri Sutami, Jenderal Soedirman dan Hoegeng, ketua ormas keagamaan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asyari, teknokrat Habibie dan Radius Prawiro, penegak hukum Bismar Siregar dan Baharuddin Lopa, akademisi Widjojo Nitisastro dan Mochtar Kusumaatmadja, adalah sedikit contoh bagaimana budaya-peradaban bangsa di ungkit lewat perilaku etik, sekaligus simbol dan instrumen meraih tujuan bernegara. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.