KILASBABEL.COM – Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menyatakan akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tiga kebijakan utama dalam bidang pendidikan yang selama ini menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat, sehingga evaluasi mendalam dirasa perlu untuk menilai efektivitasnya.
Untuk memastikan evaluasi berjalan komprehensif, Mendikdasmen Abdul Mu’ti meminta masukan mencakup pemerintah daerah, penyelenggara pendidikan, pengguna layanan pendidikan, pakar pendidikan, hingga jurnalis. Tujuannya adalah mendapatkan gambaran yang utuh mengenai kelebihan dan kekurangan dari implementasi kebijakan-kebijakan tersebut.
Tiga kebijakan yang akan dikaji ulang tersebut meliputi penerapan Kurikulum Merdeka Belajar, sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan jalur zonasi, dan kebijakan peniadaan Ujian Nasional (UN).
Menyikapi hal tersebut Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) Ervawi sebagaimana dikutip dari RRI mengatakan bahwa masing-masing kebijakan yang selama ini sudah diterapkan disekolah-sekolah terutama di Kepulauan Bangka Belitung ada kelebihan dan kekurangan.
“Yang pertama untuk Merdeka Belajar memang kalau kita lihat di lapangan, kita evaluasi program ini ada plus-minusnya, guru dan siswa memang punya kreativitas masing-masing artinya tidak ditekan dengan suatu aturan tertentu sehingga bisa berinovasi itu plusnya, tapi kita juga harus ada patokan untuk mengejar sebuah standar untuk mutu pendidikan “, ujarnya.
Dijelaskannya bicara standar dan mutu pendidikan yang menjadi salah satu kekurangan dari program Merdeka Belajar adalah bahwa sistem ini mengurangi standarisasi pendidikan di Indonesia. Dalam sistem ini, setiap siswa dapat mengejar tujuan mereka sendiri, yang mungkin berbeda dari siswa lain. Hal ini menyebabkan ketidakpastian tentang hasil akhir dan membuat sulit bagi pemerintah untuk menilai efektivitas program.
Sementara itu untuk PPDB dengan jalur zonasi Ervawi berpendapat, bahwa sistem zonasi bertujuan agar sekolah bisa memberikan akses yang merata, tetapi kualitas pendidikan antara sekolah yang berbeda dalam satu zona dapat bervariasi.
“Contohnya adalah ketika diatur dengan sistem zonasi memeang ini adalah untuk memeratakan pendidikan di suatu daerah antara pusat kota, kota dan desa atau akses menuju ke lokasi sekolah terjangkau sehingga tidak perlu jauh-jauh sekolahnya, tapi ini adalah hak dari siswa itu sendiri untuk menentukan pilihannya setelah sekian tahun belajar dan termotivasi untuk sekolah di sekolah favoritnya “, kata Ervawi.
Sehingga menurutnya, beberapa sekolah mungkin memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan sekolah lain, maka menjadi incaran siswa untuk menjadikannya sekolah favorit. Hal ini juga bisa menjadi tantangan tersendiri untuk pemerintah agar bisa membuat kualitas pendidikan di Indonesia secara merata atau sekolah semakin giat menaikan standard dan mutu pendidikannya.
Sedangkan untuk peniadaan ujian nasional menurut Ervawi jika ditiadakan maka akan berkurangnya standar yang konsisten dalam menilai kemampuan akademis siswa.
“Menurut saya Ujian Nasional itu harus tetap ada karena Indonesia ini adalah Negara kesatuan, setiap daerah akan berpacu mengejar standar yang ada jadi secara merata mutu penidikan di Indonesia ini sama, jadi tidak ada mutu pendidikan di daerah ada yang lebih tinggi atau rendah karena sudah ada acuannya, bukan hanya sekedar meluluskan atau tidak tapi yang kita butuhkan ada angka dari mutu pendidikan itu yang bisa dilihat dari hasil Ujian Nasional “, tambahnya. (*)