Oleh :
Muhadam Labolo
(Penulis, Peneliti dan Guru Besar Ilmu Pemerintahan pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILASBABEL.COM – Pilkada serentak 27 November 2024 melibatkan 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota. Demokrasi lokal itu menyedot kurang lebih 41 triliun plus hibah sebesar 28,6 triliun (KPU, Antara & Kompas, 2024). Kita berharap dengan biaya sebanyak itu, demokrasi lokal bukan saja sukses, juga melahirkan kepala daerah bermutu, bukan bermuka tua.
Salah satu tahapan menarik adalah Debat Pilkada. Beberapa mengatakan cerdas-cermat pilkada, menimbang formatnya yang dinilai beda dengan mekanisme debat di Pilpres USA misalnya. Ya, kita memang bukan Amerika, sekalipun prinsip-prinsip debat tetap diadaptasi sesuai kultur ke-Indonesiaan.
Debat seringkali menjadi kurang fokus karena pesertanya lebih dari dua pasangan calon. Bila debat hanya antara dua pasangan calon tentu akan lebih dialektis dan fokus. Tiap pasangan calon akan saling menguliti visi, misi dan program unggulan yang menjadi gagasan pendek untuk dijual ke publik. Misalnya antara Paslon Republik vs Demokrat.
Jualan politisi yang laku dihadapan publik otomatis menjadi bahan baku yang diterjemahkan oleh birokrasi menjadi RPJMD, Renstra, Program dan Kegiatan selama 5 tahun berikutnya. Birokrasi yang sukses dan gagal menerjemahkan visi lazimnya mendapatkan stick and carrot oleh politisi lewat politik balas budi dan balas dendam.
Tugas politisi menjual mimpi. Mimpi hanya mungkin terwujud bila digerakkan oleh mesin birokrasi. Mungkin itu yang membuat politisi banyak bermimpi agar lahir ide cemerlang. Disinilah fleksibilitas politisi dibanding birokrasi yang kaku, rigid dan rasional. Untuk menerjemahkan mimpi, politisi butuh pengetahuan teknokratis agar visi yang mustahil menjadi rasional.
Salah satu fungsi debat menyeleksi mimpi politisi agar landai dan konkrit, bukan sekedar janji yang mengawang-awang. Sebab itu pula fungsi debat untuk menguji visi, misi dan program unggulan pasangan calon agar dapat direalisasikan lewat sistem perencanaan jangka menengah dan pendek di atas pondasi rencana jangka panjang.
Dokumen rencana jangka panjang pada dasarnya akumulasi empat kali rencana jangka menengah. Artinya, nasib pemda dalam 20 tahun ke depan bergantung kemampuan pasangan calon terpilih mengurai kontrak sosial itu ke dalam rencana jangka menengah. Tugas panelis menguji semua itu dengan mengabstraksi isu-isu strategis menjadi pertanyaan berdurasi pendek.
Untuk menyaring mimpi paslon dibutuhkan panelis. Panelis merancang pertanyaan pokok, terkadang merumuskan tema dan subtema. Semua perangkat itu sebenarnya bukan untuk menguji benar-salah pasangan calon, namun setidaknya melihat konsistensi melalui kemampuan kognitif, psiko, dan afeksi pasangan calon.
Aspek kognitif bisa dilihat dari kemampuan paslon mengemukakan argumen logis. Mereka yang asal bunyi menunjukkan ketidakpahaman sistem pemerintahan bekerja sesuai konsep dan aturan yang tersedia. Sebagai contoh ketika ditanya darimana biaya untuk menginstalasi sekian banyak spot wifi untuk ribuan desa dengan APBD minim.
Logika publik setidaknya akan dicerahkan dengan argumen yang masuk di akal, bukan fallacy atau justru masuk kategori membual. Membual identik dengan kebohongan yang dalam kritik komika termasuk cabang olahraga beladiri. Semakin tak logis jawaban paslon semakin mudah bagi publik untuk menyimpulkan kualitas integritasnya.
Psikomotorik terlihat dari keterampilan berdialektika. Paslon yang tak biasa berdialog seringkali kehilangan kepercayaan diri. Mereka terbiasa berkomunikasi satu arah (monolog), didengar, dilayani, dan tak terbiasa diinterupsi. Apalagi petahana. Politisi kita minim pengalaman sebelum masuk ke arena debat seperti di luar sana. Debat dimulai di level primary election sebelum naik ke level general election.
Bagian terakhir kualitas afeksi. Ini berkorelasi dengan mentalitas paslon. Segmen keempat dan kelima biasanya menampilkan dialog kritis antar paslon. Bagian ini tak jarang memancing stabilitas emosi. Namun kemampuan merawat emosi sekaligus menunjukkan dimana kelas pasangan calon. Disinilah wisdom, bahkan kenegarawanan (statemanship) sebagai bibit pemimpin nasional di kelak hari. (*)