Kontroversi PPN 12 Persen: Dibahas di Parlemen, Digugat ke MK, Akhirnya Diberlakukan

oleh -78 Dilihat
Ilustrasi. (net)

KILASBABEL.COM – Kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen secara resmi akan diberlakukan per 1 Januari 2025 mendatang. Kebijakan yang menimbulkan protes di ruang publik tersebut tak terlepas dari berbagai proses yang berjalan secara birokratis di pemerintahan era Joko Widodo hingga Prabowo Subianto bersama para legislator.

Mengutip dari berbagai sumber, mulanya kebijakan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen berangkat dari usulan yang bergulir di DPR RI. Tepatnya pada 7 Oktober 2021 pemerintah dan anggota dewan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Sebanyak delapan dari sembilan fraksi di DPR RI menyetujui RUU HPP diundangkan, yakni Fraksi PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP. Hanya fraksi PKS yang menyatakan penolakan.

RUU HPP tersebut sebelum diparipurnakan telah melewati pembahasan di Komisi XI DPR RI bersama pemerintah dalam rapat Panja. Rapat Panja pada waktu itu diketuai oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP Dolfie Othniel Fredric Palit.

Setelah melewati proses di rapat Panja hingga disahkan di rapat paripurna, lantas Presiden RI pada waktu itu, Joko Widodo secara resmi mengumandangkan RUU HPP menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang HPP pada 29 Oktober 2021.

UU HPP terdiri dari sembilan bab yang memiliki enam ruang lingkup pengaturan, yakni ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP), pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), program pengungkapan sukarela (PPS), pajak karbon, serta cukai. Masing-masing ruang lingkup memiliki waktu pemberlakuan kebijakan yang berbeda.

Dalam Bab IV Pasal 7 UU HPP berisi penjelasan mengenai penyesuaian tarif PPN menjadi 11 persen mulai berlaku 1 April 2022, dan menjadi 12 persen mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025.

Digugat di MK beberapa kali 

Lahirnya UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang HPP memunculkan berbagai sikap, termasuk lewat jalur hukum. Advokat Muhtar Said, yang juga dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Jakarta mengajukan uji formal UU HPP ke MK. Dalam permohonannya, ia menilai beleid tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sehingga harus diperbaiki maksimal dua tahun sejak MK memutuskannya.

Namun, dikabarkan Muhtar menarik kembali permohonan gugatan tersebut. Hal itu berdasarkan putusan perkara nomor 69/PUU-XXI/2021, yang diputuskan dalam rapat pemusyawaratan hakim yang dihadiri sembilan hakim konstitusi, di antaranya Ketua MK Anwar Usman.

Selepas itu, UU HPP kembali digugat ke MK. Yang mengajukan judicial review adalah Priyanto, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Ummat. Pihak Priyanto menilai pembentukan UU HPP secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 22A UUD 1945.

Disebutkan bahwa UU HPP adalah suatu UU yang di dalamnya mengubah beberapa ketentuan dari peraturan perundang-undangan yang lain yang telah digunakan sebelumnya dan memuat beberapa aturan baru. Sehingga UU HPP tersebut menjadi tidak jelas, merupakan suatu perubahan UU atau pembentukan UU baru.

Namun, MK pada akhirnya memutuskan untuk menolak permohonan pengujian materiil UU HPP tersebut. Penolakan perkara tersebut disampaikan melalui sidang pengucapan putusan nomor 19/PUU-XX/2022 pada Kamis, 7 Juli 2022. MK menilai pemohon sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945 serta tidak menunjukkan argumentasi pertentangan antara pasal-pasal a quo dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945.

Respons kian gemuruh

UU HPP pun terus bergulir, hingga waktu demi waktu berlalu. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan 14 aturan turunan berupa peraturan menteri keuangan (PMK) untuk mengimplementasikan ketentuan UU HPP. Aturan kenaikan PPN sendiri terus digodok oleh pemerintah, diantaranya mulai dari pembahasan pengenaan PPN untuk barang dan jasa premium, hingga persoalan pemberian insentif.

Seiring dengan pergantian kepemimpinan atas hasil Pilpres 2024, kebijakan mengenai PPN masih menguat dari era Joko Widodo ke Prabowo Subianto dengan mengusung slogan politik ‘keberlanjutan’.

Mendekati pengujung 2024, isu kenaikan PPN menjadi 12 persen terus mencuat di publik. Pemerintah menjadi bulan-bulanan karena kenaikan PPN dinilai tidak tepat karena klaim melemahnya daya beli masyarakat.

Bahkan anggota dewan pun kian bersuara menanggapi respons dari masyarakat yang menolak kebijakan tersebut. Contohnya, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi PDIP Evita Nursanty. Meskipun partainya dulu menyetujui pengesahan UU HPP tiga tahun silam, Evita justru mengkritik kebijakan tersebut. Ia meminta pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan itu, mengingat kondisi ekonomi masyarakat yang dinilai kurang stabil.

Meski kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen merupakan amanat UU, Evita menilai pengkajian ulang masih memungkinkan. Sebab pada Pasal 7 ayat 3 UU HPP disebutkan PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.

“Pemerintah masih bisa punya kewenangan untuk mengubahnya, misalkan melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) setelah dilakukan pembahasan dengan DPR. Pemerintah harus bijaksana melihat kondisi ekonomi yang masih sulit bagi masyarakat,” kata Evita, 21 November 2024 lalu.

Pengusaha menolak

Di sisi lain, kalangan pengusaha juga menyuarakan penolakan. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani meminta Presiden Prabowo Subianto untuk mempertimbangkan kembali rencana menaikkan PPN menjadi 12 persen. Pasalnya, kebijakan itu berpotensi memberi dampak negatif terhadap masyarakat dan pelaku usaha sektor formal.

Shinta menilai pemerintah kurang cermat dalam membuat keputusan tersebut. Ia menyampaikan pemerintah seharusnya bisa lebih bijak dalam mencari waktu yang tepat untuk menaikkan tarif PPN. Idealnya, kenaikan PPN terjadi ketika pertumbuhan ekonomi sedang tinggi, sehingga tidak menjadi beban terhadap potensi pertumbuhan ekonomi maupun kesejahteraan masyarakat. Sedangkan kenyataannya, pertumbuhan ekonomi pada akhir 2024 tercatat mengalami pelemahan.

Pemerintah keukeuh, PPN 12 persen diketok 

Meski banyak penolakan yang terus bergulir, pemerintah keukeuh bakal memberlakukan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen per 1 Januari 2025. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartato yang mengumumkan secara langsung keputusan tersebut pada konferensi pers, Senin (16/12/2024).

Alasan utama pemerintah menaikkan PPN tersebut adalah untuk meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi defisit anggaran. Menteri Keuangan Sri Mulyani juga sebelumnya sudah menegaskan bahwa APBN tetap harus dijaga kesehatannya.

Menurut perhitungan Kemenkeu, penerimaan negara diperkirakan akan meningkat sebesar Rp 75 triliun pada 2025 akibat kenaikan PPN menjadi 12 persen. Kenaikan PPN mulai awal 2025 dinilai akan menyumbang besar terhadap pendapatan negara, meskipun barang-barang kebutuhan pokok tetap dibebaskan dari pengenaannya.

Sri Mulyani menyampaikan, penetapan kebijakan perpajakan dilakukan dengan tetap memerhatikan azas keadilan, keberpihakan kepada masyarakat serta gotong royong.

“Setiap tindakan untuk memungut (pajak) harus dilakukan berdasarkan undang-undang. Dan bagi kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi atau bahkan diberikan bantuan. Di sinilah prinsip negara hadir. Ini azas keadilan yang akan kita coba terus. Tidak mungkin sempurna tapi kita coba mendekati untuk terus menyempurnakan dan memperbaiki,” kata dia.

Paket stimulus disiapkan 

Untuk merespons risiko daya beli masyarakat, Pemerintah menyediakan tiga stimulus untuk mendukung rumah tangga, yakni bantuan beras sebanyak 10 kilogram per bulan yang akan dibagikan pada Januari dan Februari 2025, PPN DTP untuk tiga komoditas, dan diskon sebesar 50 persen untuk listrik di bawah 2.200 VA.

Untuk memitigasi risiko pemutusan hubungan kerja (PHK), Pemerintah memperkuat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Pemerintah melakukan penyesuaian terhadap nilai manfaat dan masa klaim. Besarannya diubah menjadi 60 persen untuk enam bulan masa penerimaan manfaat (dari sebelumnya 45 persen pada tiga bulan pertama dan 25 persen pada tiga bulan berikutnya) dengan masa klaim diperpanjang menjadi enam bulan setelah terkena PHK.

Program JKP juga menyediakan akses informasi pasar kerja serta pelatihan keterampilan untuk membantu peserta program mendapatkan pekerjaan baru.

Untuk risiko kerentanan pengusaha, disiapkan stimulus untuk UMKM, yakni perpanjangan insentif PPh final sebesar 0,5 persen bagi pengusaha dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun.

Paket stimulus ekonomi berikutnya menyasar industri padat karya. Terdapat insentif PPh 21 DTP bagi pekerja dengan gaji sampai dengan Rp10 juta per bulan, bantuan pembiayaan dengan subsidi bunga 5 persen, serta bantuan jaminan kecelakaan kerja sebesar 50 persen selama 6 bulan.

Pemerintah juga menyiapkan insentif untuk pembelian kendaraan listrik dan hibrida berupa PPN dan PPnBM, dengan rincian PPN DTP sebesar 10 persen untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) completely knocked down (CKD), PPnBM DTP 15 persen untuk KBLBB impor completely built up (CBU) dan CKD, serta bea masuk 0 persen untuk KBLBB CBU. Juga, PPnBM DTP sebesar 3 persen untuk kendaraan bermotor hibrida.

Terakhir, paket stimulus menyasar sektor properti, dengan memperpanjang insentif PPN DTP untuk rumah dengan harga jual sampai dengan Rp5 miliar. PPN yang ditanggung maksimal untuk harga Rp2 miliar, dengan rincian diskon 100 persen untuk Januari-Juni 2025 dan 50 persen untuk Juli-Desember 2025.

Dampak terhadap ekonomi

Salah satu dampak yang disorot dari kebijakan tarif PPN 12 persen adalah potensi inflasi yang tinggi pada tahun depan. Center of Economics and Law Studies (Celios) memperkirakan kenaikan tarif PPN 12 persen pada 2025 bisa meningkatkan inflasi hingga ke level 4,11 persen. Sebagai catatan, inflasi per November 2024 tercatat sebesar 1,55 persen (year-on-year/yoy).

Celios juga menghitung kenaikan PPN bisa menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan. Sementara kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan.

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) menyebut dampak PPN 12 persen terhadap inflasi tak terlalu signifikan. Berdasarkan proyeksi Deputi Gubernur BI Aida S Budiman, efek PPN terhadap inflasi berkisar 0,2 persen.

Dari sisi Pemerintah, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha Badan Usaha Milik Negara Kemenko Perekonomian Ferry Irawan menyebut risiko kenaikan inflasi itu telah diantisipasi, yang terefleksi pada kehadiran paket stimulus bantuan pangan dan diskon listrik 50 persen pada Januari-Februari 2025. Insentif diberikan selama dua bulan untuk menjaga tingkat inflasi pada kuartal I, yang diyakini berperan penting dalam menentukan tingkat inflasi sepanjang tahun.

Namun, efektivitas dari paket stimulus yang disiapkan Pemerintah banyak dipertanyakan. Salah satu komentar datang dari Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede yang menyebut keuntungan stimulus bersifat jangka pendek. Sementara untuk jangka panjang, perlu ada evaluasi lebih lanjut oleh Pemerintah.

Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyatakan bahwa pemberian berbagai insentif tidak cukup untuk mengurangi dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen. Pasalnya, kinerja permintaan maupun industri sudah terlanjur melemah. Meski ada insentif untuk industri padat karya, misalnya, industri ini sudah telanjur terpuruk, seperti yang terlihat pada industri tekstil dan industri alas kaki.

Di sisi lain, juga ada sejumlah optimisme terhadap kebijakan tarif PPN 12 persen. Contohnya, peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet yang menilai paket stimulus bersifat inklusif dalam memitigasi dampak kenaikan tarif PPN. Tetapi, dia turut mewanti-wanti soal terbatasnya durasi dan jangkauan tiap insentif.

Kemudian, Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov berpendapat insentif diskon listrik dapat membantu meringankan beban biaya hidup, terutama bagi keluarga dengan penghasilan terbatas yang sebagian besar bergantung pada tarif listrik bersubsidi. Dia meminta Pemerintah memastikan pemberian diskon tarif listrik pada awal tahun depan agar tepat sasaran.

Selain itu, ia juga mendorong Pemerintah melakukan evaluasi secara hati-hati agar efek kebijakan tidak hanya bersifat sementara, tetapi berdampak besar pada pola konsumsi jangka panjang. Bila hasil evaluasi menunjukkan dampak positif terhadap peningkatan konsumsi masyarakat, Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk melanjutkan stimulus tersebut.

Secara keseluruhan, paket stimulus Pemerintah dinilai bersifat temporer. Terlebih, rata-rata insentif merupakan perpanjangan atau penguatan dari kebijakan yang telah ada sebelumnya.

Direktur Celios Bhima Yudhistira menyerukan agar Pemerintah mengkaji alternatif kebijakan tarif PPN. Menurutnya, memperluas basis pajak, penerapan pajak kekayaan, dan memberantas celah penghindaran pajak, lebih efektif meningkatkan penerimaan negara tanpa perlu membebani masyarakat. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.