MK Hapus Presidential Threshold, Ini Sejarah & Dampak Besarnya Buat RI

oleh -80 Dilihat
Foto : Gedung MK. (ist)

KILASBABEL.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas atau presidential threshold minimal 20% kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (wapres). Penghapusan ini diperkirakan akan membuat calon presiden (capres) dan calon wapres yang maju di pemilu 2029 makin ramai,

Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo terkait perkara 62/PUU-XXI/2023, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). MK mengabulkan seluruhnya permohonan tersebut.

“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.

Berikut ini isi dari Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu):

“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya

Untuk diketahui permohonan ini diajukan oleh empat orang Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, dkk. Para Pemohon mendalilkan prinsip “one man one vote one value” tersimpangi oleh adanya presidential threshold. Hal ini menimbulkan penyimpangan pada prinsip “one value” karena nilai suara tidak selalu memiliki bobot yang sama.

Idealnya, menurut para pemohon, nilai suara seharusnya mengikuti periode pemilihan yang bersangkutan. Namun, dalam kasus presidential threshold, nilai suara digunakan untuk dua periode pemilihan, yang dapat mengarah pada distorsi representasi dalam sistem demokrasi.

Oleh karena itu, hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan atau penyimpangan pada prinsip asas periodik, nilai suara seharusnya mengikuti setiap periode pemilihan secara proporsional.

Dalil mengenai uji materiil ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) juga diajukan dalam tiga perkara lainnya, yakni Perkara Nomor 129/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Gugum Ridho Putra.

Kemudian, Perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh empat dosen, antara lain Mantan Ketua Bawaslu Muhammad, Dian Fitri Sabrina, S Muchtadin Al Attas, serta Muhammad Saad. Selain itu, Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang diwakili Hadar Nafis Gumay serta perorangan Titi Anggraini.

Dengan adanya putusan MK kemarin yang mengabulkan empat gugatan, maka disimpulkan bahwa Presidential Threshold (PT) bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Dengan kata lain, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau, gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

“Dalam hal ini, misalnya, jika jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, maka terbuka pula potensi terdapat 30 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan partai politik peserta pemilu,” kata Wakil Ketua MK Saldi Isra.

Presidential Threshold (PT)

Presidential Threshold merupakan ketentuan tambahan mengenai pengaturan tentang syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Dikutip dari Jurnal APHTN-HAN berjudul POLITIK HUKUM PRESIDENTIAL THRESHOLD 20% DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017, PT 20% pada awalnya hadir sebagai bentuk untuk memperkuat sistem presidensial. Desain konstitusional PT merupakan ketentuan tambahan mengenai pengaturan tentang syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 6A ayat (2) UUD NRI.

Jika dilihat dari sejarahnya, PT pertama kali diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 terkhusus pada Pasal 5 ayat (4) bahwa “Pasangan calon sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR.”

Kemudian jelang Pemilu 2009, aturan persentase dalam presidential threshold diubah, merujuk UU Nomor 42 Tahun 2008.

“Pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif.”

Selanjutnya, jelang Pilpres 2019, aturan presidential threshold kembali diubah, memakai Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017.

Artinya ketentuan PT ini telah diubah sebanyak dua kali lewat UU Nomor 42 Tahun 2008 dan UU Nomor 7 Tahun 2017.

Sebagai catatan, pada pilpres 2004, 2009, dan 2014, patokan yang digunakan dalam PT adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional dengan merujuk pada hasil pileg yang dilaksanakan sebelumnya. Pemilu pada 2004,2009, dan 2014 digelar beberapa bulan sebelum pilpres.

Sementara itu, pada pilpres 2019, aturan yang digunakan adalah merujuk pada perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya. Hal ini dilakukan karena pilpres dan pemilu legislatif digelar secara serentak pada 2019.

Gugatan-Gugatan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017

Kebijakan PT dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dinilai semakin membatasi jumlah calon presiden yang dapat diusung. Ini mengurangi diversitas pilihan bagi pemilih dan bertentangan dengan prinsip demokrasi yang mengedepankan keragaman dan kebebasan memilih.

Alhasil gugatan demi gugatan pun dilancarkan untuk membatalkan ketentuan PT ini.

Berikut ini Daftar Putusan Mahkamah dalam Pengujian Perkara Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Dari 32 perkara gugatan terhadap Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, 24 diantaranya berujung pada putusan hakim TIDAK DAPAT DITERIMA, sementara 5 perkara DITOLAK, 2 perkara DITARIK KEMBALI, dan 1 perkara DIKABULKAN SEBAGIAN.

Sepanjang sejarah Mahkamah Konstitusi, mayoritas hakim menilai masih perlu mempertahankan Pasal 222, sementara itu sebagian hakim yang berpandangan bahwa PCT harus dihapuskan.

Dari berbagai putusan pengujian terhadap Pasal 222 UU Pemilu telah dapat diperoleh argumen-argumen utama dari majelis hakim yang mempertahankan PCT dan hakim konstitusi yang menilai bahwa ketentuan PCT seharusnya sudah tidak perlu dipertahankan lagi.

Sejarah Pilpres di Indonesia

Pilpres pertama kali diselenggarakan pada 2004 dengan terdapat lima paslon dan berakhir dengan dua putaran mengingat perolehan tertinggi hanyalah 33,57% yakni pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla.

Hingga akhirnya pada putaran kedua, pasangan SBY-Jusuf Kalla menang dengan perolehan suara 60,62% dibandingkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dengan perolehan 39,38%.

Namun berbeda halnya dengan Pilpres 2009, meskipun terdapat tiga paslon, namun SBY-Boediono memenangkan kontestasi politik ini dengan perolehan suara 60,8% pada putaran pertama.

Pemilu 2014 dilaksanakan secara serempak dua kali untuk Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD (Pemilu Legislatif) diselenggarakan pada 9 April 2014 (dalam negeri) dan 30 Maret-6 April 2014 (luar negeri).

Sementara pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada 9 Juli 2014. Berdasarkan hasil Pilpres 2014, Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla terpilih dan ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2014-2019.

Pemilu 2019 dilaksanakan pada 17 April 2019. Hasil Pemilu 2019 ini dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI untuk periode 2019-2024.

Selanjutnya, Pilpres terakhir pada 14 Februari 2024 silam diisi oleh tiga kandidat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang maju bertarung yakni Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Prabowo-Subianto secara mengejutkan mampu memenangi pertempuran dengan kemenangan telak hingga 58% lebih. Perolehan suara pasangan ini di atas polling sejumlah lembaga yakni di kisaran 48-52%. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.