Pelayanan Publik Ramah Anak di Sekolah: Implementasi Prinsip Responsivitas dan Perlindungan Hak Anak dalam Pendidikan Dasar

oleh -202 Dilihat
Foto : istimewa.

Oleh :

Erci

(Mahasiswa Pasca Sarjana Institut Pahlawan 12)

 

KILASBABEL.COM – Pelayanan publik yang ramah anak di sekolah menjadi pondasi penting dalam membangun sistem pendidikan dasar yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga melindungi dan memanusiakan peserta didik. Dalam konteks administrasi publik modern, penyelenggaraan layanan pendidikan harus menjunjung tinggi hak anak, menciptakan suasana belajar yang nyaman, serta menjamin perlindungan dari segala bentuk kekerasan fisik maupun psikologis.

Hal ini menuntut adanya implementasi prinsip responsivitas yang nyata dalam pelayanan pendidikan di tingkat satuan pendidikan dasar. Responsivitas sebagai prinsip administrasi publik menuntut aparatur negara, termasuk guru dan tenaga kependidikan, untuk tanggap terhadap kebutuhan dan suara publik, khususnya anak-anak sebagai kelompok rentan.

Dalam lingkungan sekolah, responsivitas tercermin dalam kebijakan, tata kelola, serta interaksi antara guru, peserta
didik, dan orang tua yang didasarkan pada penghormatan terhadap hak-hak anak. Hak untuk merasa aman, didengarkan pendapatnya, dan bebas dari diskriminasi harus menjadi bagian tak terpisahkan dari pelayanan pendidikan.

Kenyamanan belajar merupakan aspek penting yang sering diabaikan dalam penyusunan kebijakan pendidikan. Banyak sekolah masih berfokus pada capaian akademik tanpa mengindahkan kondisi psikologis dan sosial peserta didik. Padahal, hak atas kenyamanan belajar merupakan bagian dari hak anak atas pendidikan yang
berkualitas.

Ruang kelas yang aman, ramah, bebas bullying, serta memperhatikan keberagaman latar belakang anak menjadi indikator penting dalam mewujudkan pelayanan publik yang berorientasi pada kepentingan terbaik bagi anak. Perlindungan dari kekerasan di lingkungan sekolah menjadi isu mendesak yang menuntut perhatian serius. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus-kasus kekerasan terhadap peserta didik, baik secara verbal, fisik, maupun seksual, masih sering terjadi. Banyak dari kasus ini tidak dilaporkan atau ditangani secara serius, karena dianggap  sebagai bagian dari “pendisiplinan” atau “tradisi.”

Implementasi prinsip perlindungan hak anak harus dimulai dari perubahan paradigma di tingkat sekolah, bahwa tidak ada bentuk kekerasan yang dapat dibenarkan dalam proses pendidikan. Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan telah memberikan payung hukum yang cukup kuat. Namun, implementasi di lapangan sering kali masih lemah.

Sekolah belum memiliki sistem pelaporan yang transparan, mekanisme pengaduan yang ramah anak, serta pelatihan guru untuk menangani kekerasan berbasis pendekatan non- kekerasan.

Satuan pendidikan dasar perlu membangun budaya sekolah yang partisipatif dan inklusif. Anak-anak harus diberikan ruang untuk menyuarakan pendapat mereka, baik melalui forum peserta didik, kotak saran, maupun survey kepuasan peserta didik. Selain itu, penting juga untuk melibatkan orang tua secara aktif dalam pengawasan dan evaluasi pelayanan sekolah. Budaya partisipatif ini akan memperkuat rasa kepemilikan (sense of belonging) peserta didik terhadap sekolahnya.

Pelayanan publik yang ramah anak juga menuntut adanya penyesuaian dalam tata ruang dan fasilitas fisik sekolah. Sekolah yang baik harus mampu menyediakan lingkungan yang bersih, sehat, aman, dan menyenangkan. Keberadaan ruang terbuka hijau, toilet yang layak dan bersih, ruang konseling yang nyaman, serta akses bagi anak berkebutuhan khusus adalah bagian dari standar minimal pelayanan publik pendidikan dasar yang ramah anak.

Peran guru sebagai pelayan publik sangat penting karena mereka tidak hanya bertugas mengajar, tetapi juga melayani kebutuhan pendidikan masyarakat sebagai bagian dari aparatur sipil negara (ASN) atau tenaga kependidikan profesional. Berikut ini beberapa peran utama guru sebagai pelayan publik: 1.) Pemberi Layanan Pendidikan Berkualitas: Guru bertanggung jawab memberikan layanan pendidikan yang bermutu kepada peserta didik, sesuai dengan kurikulum dan perkembangan zaman. 2.) Pembentuk Karakter dan Moral Bangsa: Sebagai pelayan publik, guru memiliki peran strategis dalam membentuk karakter generasi muda. 3.) Mediator Sosial di Sekolah dan Masyarakat: Guru juga berperan sebagai penghubung antara sekolah, siswa, orang tua, dan masyarakat: 4.) Pemberi Pelayanan yang Adil dan Tidak Diskriminatif: Sebagai pelayan publik, guru harus memberikan perlakuan yang sama kepada semua siswa tanpa diskriminasi, menghindari kekerasan, perundungan, dan pelabelan negatif. 5.) Pendorong Inovasi dan Perubahan Positif. 6.) Menjalankan Tugas Sesuai Etika dan Regulasinya.

Penguatan kapasitas kepala sekolah juga krusial. Sebagai pemimpin layanan publik di satuan pendidikan, kepala sekolah harus memiliki visi yang jelas tentang pentingnya membangun lingkungan sekolah yang menghormati hak anak. Ia harus mampu mengintegrasikan prinsip-prinsip ramah anak ke dalam perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan kegiatan, serta evaluasi program sekolah.

Kepemimpinan transformatif sangat dibutuhkan untuk menciptakan perubahan budaya yang mendalam. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) yang dalam hal ini menaungi pendidikan dasar baik di tingkat SD (Sekolah Dasar) maupun di tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) memiliki tanggung jawab dalam memastikan bahwa setiap sekolah memiliki kapasitas untuk melaksanakan prinsip ramah anak. Melalui program Sekolah Ramah Anak (SRA), pemerintah telah menyediakan panduan, indikator, dan pelatihan untuk sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Namun, monitoring dan evaluasi terhadap keberhasilan implementasi Sekolah Ramah Anak masih perlu diperkuat agar tidak hanya menjadi program formalitas semata.

Seiring dengan maraknya kasus kekerasan yang terjadi di sekolah, maka di bentuk lah Panitia atau tim yang bertugas untuk menangani kekerasan di sekolah di Indonesia yang dikenal dengan nama Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK).

Pembentukan TPPK ini diamanatkan oleh Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP).
TPPK (Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan ) memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan bebas dari kekerasan. Tugas dan fungsinya antara lain: 1) Menyampaikan usulan atau rekomendasi program pencegahan kekerasan kepada kepala satuan pendidikan. 2) Memberikan masukan atau saran mengenai fasilitas yang aman dan nyaman di satuan pendidikan. 3) Melaksanakan sosialisasi kebijakan dan program terkait pencegahan dan penanganan kekerasan bersama dengan satuan pendidikan. 4) Menerima dan menindaklanjuti laporan dugaan kekerasan. Peran tim TPPK ini di sekolah tentu saja harus di maksimalkan di lingkungan sekolah agar berdampak baik untuk mewujudkan sekolah yang ramah anak.

Kerja sama lintas sektor juga penting untuk mewujudkan pelayanan publik pendidikan dasar yang ramah anak. Pemerintah daerah, dinas sosial, dinas kesehatan, serta lembaga perlindungan anak harus bersinergi dalam menciptakan sistem pendukung yang menyeluruh. Sekolah tidak bisa bekerja sendiri dalam menangani kasus-kasus
kekerasan atau ketidaknyamanan belajar yang dialami anak.

Peran teknologi juga tidak bisa diabaikan. Di era digital, anak-anak menghadapi tantangan baru seperti perundungan siber (cyberbullying), akses terhadap konten negatif, serta tekanan sosial media. Sekolah harus mampu merespons tantangan ini dengan literasi digital yang kuat dan regulasi internal yang melindungi anak. Penerapan sistem informasi sekolah yang memungkinkan pengawasan dan komunikasi yang terbuka antara sekolah dan orang tua sangat diperlukan.

Pendidikan ramah anak tidak hanya menyasar peserta didik, tetapi juga harus menjangkau seluruh ekosistem sekolah. Petugas kebersihan, penjaga sekolah, staf administrasi, hingga satpam harus memiliki pemahaman dasar tentang perlakuan yang manusiawi terhadap anak. Pelayanan publik adalah tanggung jawab kolektif, bukan hanya
guru atau kepala sekolah semata.

Akhirnya, pelayanan publik ramah anak bukanlah sekadar jargon atau program tahunan, melainkan merupakan komitmen jangka panjang dalam membentuk generasi yang sehat secara mental, fisik, dan sosial. Dengan menjadikan prinsip responsivitas dan perlindungan hak anak sebagai fondasi, sekolah dapat bertransformasi menjadi tempat yang benar-benar aman dan membahagiakan bagi seluruh peserta didik.

Pendidikan dasar tidak hanya soal transfer ilmu, tetapi juga tentang membangun manusia seutuhnya. Upaya kolektif untuk menciptakan layanan publik pendidikan yang ramah anak harus terus digalakkan melalui kebijakan yang progresif, implementasi yang konsisten, dan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan. Masa depan bangsa akan sangat ditentukan oleh bagaimana kita memperlakukan anak-anak kita hari ini di ruang-ruang belajar mereka. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.