Oleh :
HERU PRAYOGA, ST
(MAHASISWA PASCA SARJANA INSTITUT PAHLAWAN DUA BELAS ANGKATAN VII)
KILASBABEL.COM – Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dikenal sebagai daerah penghasil timah dan memiliki lanskap kepulauan yang unik. Namun di balik kekayaan sumber daya alam tersebut, tersimpan kekhawatiran besar: berkurangnya tutupan hutan dari tahun ke tahun.
Data dari berbagai lembaga lingkungan menunjukkan bahwa deforestasi, alih fungsi lahan, dan kegiatan penambangan ilegal menjadi ancaman serius bagi ekosistem hutan di provinsi ini. Lalu apa yang bisa dilakukan? Banyak pihak menyebut perlunya teknologi canggih, dana besar, atau kebijakan pusat. Semua itu penting. Namun ada satu aspek mendasar yang sering luput dari perhatian: penerapan prinsip-prinsip administrasi publik dalam pengelolaan kehutanan. Prinsip-prinsip inilah yang akan memastikan tata kelola hutan berjalan dengan baik, adil, partisipatif, dan berkelanjutan.
Mengelola Hutan dengan Dasar Hukum yang Tegas
Salah satu tantangan utama di sektor kehutanan Bangka Belitung adalah lemahnya penegakan hukum. Hutan lindung yang seharusnya dijaga, justru menjadi sasaran empuk aktivitas ilegal. Dalam prinsip administrasi publik, hal ini menyangkut legalitas, yaitu semua kebijakan dan tindakan pemerintah harus berlandaskan hukum yang berlaku.
Pemerintah daerah wajib memastikan bahwa setiap aktivitas pemanfaatan kawasan hutan—baik itu untuk produksi, wisata, atau konservasi—memiliki dasar hukum yang jelas. Pelanggaran terhadap aturan harus direspons secara cepat dan tegas, bukan malah didiamkan karena alasan ekonomi atau tekanan politik.
Efisiensi dan Efektivitas: Kunci dari Pemerintahan yang Melayani
Anggaran kehutanan di daerah terbatas. Namun dengan prinsip efisiensi dan efektivitas, hasilnya tetap bisa maksimal. Penggunaan teknologi seperti citra satelit, GPS, dan drone dalam pemantauan kawasan hutan dapat menghemat biaya sekaligus meningkatkan ketepatan data.
Selain itu, efektivitas program rehabilitasi hutan juga harus menjadi perhatian. Tidak cukup sekadar menanam bibit pohon, tapi juga perlu memastikan pohon-pohon itu tumbuh dan mampu memperbaiki ekosistem jangka panjang. Dinas teknis perlu bekerja sama dengan kelompok masyarakat untuk memastikan kegiatan tidak sekadar bersifat seremonial, tapi betul-betul berdampak nyata.
Transparansi dan Akuntabilitas: Menjaga Kepercayaan Publik
Mengelola hutan bukan hanya urusan teknis, tapi juga menyangkut kepercayaan. Di sinilah pentingnya prinsip transparansi dan akuntabilitas. Pemerintah harus membuka informasi publik terkait perizinan hutan, alokasi anggaran, serta hasil evaluasi program kehutanan.
Beberapa inisiatif digital sudah mulai dikembangkan di Bangka Belitung untuk menyajikan data kehutanan secara terbuka. Namun, implementasinya masih perlu diperkuat. Akuntabilitas juga harus didorong lewat mekanisme pelaporan yang mudah diakses masyarakat, serta audit independen terhadap program kehutanan.
Menghidupkan Partisipasi Masyarakat Lokal
Hutan tidak bisa dijaga hanya oleh pemerintah. Masyarakat lokal yang hidup di sekitar hutan justru menjadi penjaga alam paling efektif jika dilibatkan secara aktif. Prinsip partisipasi dalam administrasi publik menekankan pentingnya pelibatan warga dalam proses perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi kebijakan.
Program perhutanan sosial menjadi pintu masuk penting. Melalui program ini, masyarakat diberikan hak legal untuk mengelola kawasan hutan secara lestari. Di beberapa desa di Bangka dan Belitung, sudah mulai muncul inisiatif seperti hutan desa, kelompok tani hutan, dan ekowisata berbasis alam. Namun untuk memperluas dampaknya, pemerintah perlu memberikan pendampingan intensif dan akses permodalan.
Responsif terhadap Masalah Nyata
Di banyak daerah, kerusakan hutan seringkali sudah terjadi sebelum pemerintah bertindak. Padahal prinsip responsivitas mengajarkan bahwa pemerintah harus tanggap terhadap masalah nyata yang dihadapi masyarakat dan lingkungan. Misalnya, ketika masyarakat mengeluhkan banjir akibat alih fungsi hutan atau konflik lahan, pemerintah harus hadir, bukan justru menghindar.
Responsif juga berarti terbuka terhadap masukan dan aspirasi masyarakat. Forum diskusi antara pemerintah daerah, akademisi, pelaku usaha, dan komunitas lokal harus menjadi budaya baru dalam menyusun kebijakan kehutanan yang adaptif.
Desentralisasi sebagai Peluang, Bukan Beban
Sebagai daerah otonom, Bangka Belitung memiliki kewenangan untuk mengelola kehutanan sesuai karakteristik wilayahnya. Prinsip desentralisasi dalam administrasi publik memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk merancang kebijakan yang lebih kontekstual.
Misalnya, pendekatan pengelolaan hutan di Pulau Belitung yang banyak mengembangkan ekowisata berbasis alam tentu akan berbeda dengan kawasan hutan di Pulau Bangka yang masih rentan dengan tekanan pertambangan. Namun desentralisasi ini harus disertai dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia di tingkat daerah, agar kebijakan tidak hanya copy-paste dari pusat.
Penutup: Masa Depan Hutan adalah Cerminan Kualitas Pemerintahan
Hutan adalah aset masa depan. Di tengah krisis iklim global, keberadaan hutan tropis seperti di Bangka Belitung bukan hanya penting bagi warga lokal, tapi juga bagi dunia. Oleh karena itu, menjaga hutan tidak bisa hanya dilakukan dengan pendekatan teknis atau ekonomi semata, melainkan juga dengan pemerintahan yang baik.
Penerapan prinsip-prinsip administrasi publik bukan sekadar jargon, tapi jalan menuju pengelolaan hutan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Pemerintah daerah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat harus bersama-sama membangun tata kelola kehutanan yang berpihak pada lingkungan dan generasi mendatang. Karena ketika hutan lestari, bukan hanya udara yang bersih atau air yang mengalir, tetapi juga keadilan sosial dan kesejahteraan. (*)