Bukan Lagi Wakil Rakyat? Potret Kekecewaan Publik Terhadap Pemimpin Negeri

oleh -39 Dilihat
Istimewa.

Oleh :

Rahmi

(Mahasiswi Paska Sarjana Institut Pahlawan Dua Belas)

 

KILASBABEL.COM – Dalam sistem demokrasi yang kita banggakan, satu hal yang menjadi fondasi utamanya adalah kepercayaan. Rakyat percaya bahwa melalui pemilu, mereka bisa memilih wakil yang akan membawa suara dan harapan mereka ke ruang-ruang kekuasaan. Namun belakangan ini, kita menghadapi kenyataan pahit: kepercayaan itu kian menipis. Bukan karena rakyat tidak memahami politik, tetapi karena politik telah gagal memenuhi harapan mereka.

Fenomena turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpin rakyat bukanlah isapan jempol. Ia terasa di percakapan warung kopi, di kolom komentar media sosial, hingga di bilik suara yang kian sunyi oleh ketidakpedulian. Ketika seorang warga berkata, “Buat apa memilih, toh mereka semua sama saja,” itu bukan sekadar keluhan—itu adalah sinyal darurat bagi kesehatan demokrasi kita.

Rakyat yang Dijanjikan, Tapi Tak Dilibatkan

Janji-janji politik yang berserakan di masa kampanye seringkali tak lebih dari manisnya gula-gula. Rakyat dijanjikan perbaikan, kedekatan, keterbukaan, bahkan solusi konkret untuk masalah sehari-hari mereka. Namun setelah pemilu usai, banyak dari mereka justru merasa kembali menjadi penonton dalam panggung kebijakan publik.

Apakah suara rakyat hanya penting saat pemilu? Mengapa mereka tidak dilibatkan saat kebijakan yang menyangkut hidup mereka hendak dibuat? Ini bukan soal teknis partisipasi belaka, tetapi tentang rasa memiliki dalam proses demokrasi. Ketika rakyat merasa tidak menjadi bagian dari keputusan yang memengaruhi mereka, kepercayaan pun luruh, digantikan oleh apatisme dan kekecewaan.

Transparansi dan Etika Politik yang Memudar

Tak jarang, yang membuat luka rakyat semakin dalam adalah ketertutupan dan kecurangan yang terbongkar. Kasus korupsi yang menyeret para pejabat publik, konflik kepentingan dalam proyek- proyek pembangunan, hingga manipulasi data dan anggaran, semua itu meninggalkan jejak luka di hati masyarakat. Mereka yang seharusnya menjadi teladan justru menjadi pelanggar etika. Mereka yang semestinya memperjuangkan keadilan, justru memanipulasi sistem demi keuntungan pribadi atau kelompok.

Demokrasi membutuhkan kepercayaan, dan kepercayaan membutuhkan transparansi serta integritas. Tanpa keduanya, kepercayaan rakyat akan mudah runtuh, dan sistem pemerintahan akan kehilangan legitimasi moralnya.

Politik Identitas: Pisau Bermata Dua

Fenomena lain yang kian merusak hubungan antara rakyat dan pemimpinnya adalah maraknya politik identitas yang eksploitatif. Dalam banyak kontestasi politik, isu-isu kesukuan, agama, atau kelompok digunakan bukan untuk merangkul, melainkan memecah. Padahal, pemimpin seharusnya menjadi pemersatu di tengah keberagaman. Ketika isu identitas digunakan sebagai alat politik, masyarakat bukan hanya menjadi terbelah, tapi juga semakin kehilangan rasa percaya terhadap pemimpinnya.

Apakah Harapan Sudah Mati?

Belum. Meski demikian, bukan berarti semua telah sirna. Rakyat Indonesia adalah masyarakat yang sabar, ulet, dan penuh harapan. Mereka mungkin kecewa, tetapi mereka belum sepenuhnya menyerah. Masih banyak warga yang percaya bahwa perubahan mungkin terjadi—asal ada kemauan, keberanian, dan kejujuran dari para pemimpin.

Membangun kembali kepercayaan itu bukan hal mudah, namun sangat mungkin dilakukan. Caranya bukan dengan seremonial atau pencitraan belaka, melainkan dengan komitmen nyata: melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan public, menjalankan pemerintahan secara transparan dengan data terbuka dan dapat diakses, menepati janji kampanye, dan meminta maaf secara terbuka jika ada yang gagal dilaksanakan, dan terakhir menunjukkan keteladanan moral, bukan sekadar kepiawaian retorika.

Akhirnya, Pemimpin Itu Harus Hadir

Yang dibutuhkan rakyat bukan pemimpin yang sempurna, tapi yang hadir. Pemimpin yang mau mendengar keluhan warga tanpa harus menunggu kamera menyala. Pemimpin yang memahami bahwa kekuasaan bukan hak istimewa, tapi amanah yang harus dipertanggungjawabkan, bukan hanya kepada Tuhan, tetapi juga kepada rakyat.

Ketika pemimpin mampu bersikap rendah hati, mendengar, dan memperbaiki, maka rakyat pun akan kembali percaya. Karena pada akhirnya, demokrasi bukan hanya tentang siapa yang menang dalam pemilu, tapi tentang bagaimana suara rakyat terus hidup dalam setiap kebijakan dan tindakan.

Kepercayaan rakyat adalah harta paling berharga dalam demokrasi. Jangan sampai ia terkikis habis, dan yang tertinggal hanyalah formalitas pemilu tanpa makna. Saatnya pemimpin mendengar lebih banyak dan berbicara lebih sedikit. Saatnya menunjukkan bahwa rakyat memang masih punya wakil bukan hanya dalam nama, tetapi dalam tindakan. (*)

 

No More Posts Available.

No more pages to load.