Dari Reog ke Revolusi Sampah: Prof Udin Padukan Budaya dan Agenda Bersih-Bersih Kota Pangkalpinang

oleh -37 Dilihat
Prof Udin-Cece Dessy saat menyaksikan penampilan Reog Ponorogo di Kelurahan Air Itam Kecamatan Bukit Intan Pangkalpinang, Minggu (10/8/2025).(Foto/Ist)

KILASBABEL.COM, PANGKALPINANG – Dentuman kendang dan gemulai gerak Reog Ponorogo memecah sore di Jalan Pulau Bangka, Air Itam, Bukit Intan, Minggu (10/8/2025).

Pagelaran seni dari Paguyuban Reog Singo Manggolo itu bukan sekadar hiburan, tetapi juga simbol kekayaan budaya yang hidup di Ibu Kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Kehadiran calon Wali Kota Pangkalpinang 2025, Saparudin (Prof Udin), yang didampingi istri, tim pemenangan, dan perwakilan partai pengusung, disambut meriah ratusan warga. Acara ini dikemas dalam bentuk kampanye dialogis yang berpadu dengan blusukan, menciptakan suasana akrab dan interaktif antara kandidat dan masyarakat.

Bagi warga, sambutan hangat itu menjadi bukti kedekatan dan antusiasme terhadap sosok akademisi yang peduli pada akar budaya. Dalam pidatonya, Prof Udin menegaskan bahwa kebudayaan adalah identitas bangsa yang wajib dijaga dan diwariskan. “Budaya adalah identitas bangsa. Jika kita rawat, kita rawat pula persatuan kita. Kita punya kekayaan budaya luar biasa yang harus terus dipelihara,” ujarnya.

Namun, perbincangan tak berhenti pada urusan budaya. Prof Udin mengangkat persoalan besar yang menjadi keluhan warga Air Itam: penumpukan ratusan ton sampah setiap hari di Parit Enam yang menimbulkan bau menyengat hingga ke kawasan pemukiman.

“Ini bukan sekadar masalah estetika, tapi juga soal kesehatan dan martabat kota. Saya dan Bu Dessy menargetkan dua tahun kerja untuk mengakhiri gunungan sampah ini dengan sistem pengelolaan modern, terintegrasi, dan ramah lingkungan,” tegasnya, disambut tepuk tangan warga.

Strategi kampanye Prof Udin di Air Itam ini menunjukkan bagaimana ia memadukan kekuatan budaya sebagai perekat sosial dengan agenda lingkungan sebagai prioritas pembangunan. Di tengah riuh politik Pilwako, ia membangun narasi bahwa kemajuan Pangkalpinang harus dimulai dari kebersihan kota sekaligus pelestarian identitas budaya warganya.

Bagi warga yang hadir, hari itu bukan sekadar pagelaran seni. Di antara dentum kendang dan kibasan bulu Singa Barong, mereka mendengar janji perubahan yang menyentuh langsung persoalan hidup sehari-hari—dan itulah yang membuat sore itu terasa lebih dari sekadar kampanye.

Bagi sebagian warga Air Itam, kedatangan Prof Udin sore itu bukan sekadar kunjungan politik. Ada yang menggendong anaknya sambil berharap kelak mereka tumbuh di kota yang lebih bersih. Ada pula para tetua yang duduk di kursi plastik di tepi jalan, menyimak dengan seksama setiap janji yang diucapkan di panggung.

Ketika pertunjukan Reog usai, aroma tanah basah bercampur asap sate dari pedagang kaki lima memenuhi udara. Prof Udin tetap berada di tengah kerumunan, menyalami warga satu per satu, menepuk pundak para pemuda, dan sesekali bercanda dengan anak-anak kecil yang berebut foto.

Di tengah hiruk pikuk musik dan riuh sorak, terasa jelas bahwa sore itu bukan hanya soal pesta budaya. Ia adalah titik pertemuan antara masa lalu dan masa depan antara identitas yang dijaga dan perubahan yang dijanjikan.

Jika janji dua tahun untuk menghapus bau Parit Enam itu terwujud, maka hari itu akan dikenang bukan hanya sebagai kampanye, melainkan sebagai awal dari kisah baru Pangkalpinang: kota yang tetap teguh menjaga budayanya, namun berani membersihkan diri dari beban masalah yang lama.(eno/SP)

No More Posts Available.

No more pages to load.