Menghargai Suara Kita

oleh -250 Dilihat
Muhadam. (ist)

Oleh :

Prof. Muhadam

(Ketua Harian MIPI/Guru Besar Ilmu Pemerintahan IPDN)

Kemacetan suara dalam ruang formal menyadarkan kita bahwa kekuatan arus bawah bisa menerjang tembok sekuat apapun. Apalagi bila wadah permeabilitas mengalami gangguan sebagai corong pertama sebelum tiba di penentu akhir. Suara dewan terasa senyap dibanding kerasnya mikrofon ojol jalanan.

Suara rakyat suara Tuhan (vox populi vox dei). Demikian pesan simbolik kelas menengah ketika demokrasi dihadirkan sebagai proposal baru atas kebangkrutan teokrasi dan monarchi di abad 20. Ia bukan prinsip, tapi slogan yang meyakinkan kaum fanatik-religi bahwa demokrasi pun punya spirit teologik.

Suara kaum papa yang tertekan oleh berbagai tuntutan seperti pajak dapat mengubah status menjadi kaum dhuafa. Dalam perspektif religi, kemiskinan struktural-fungsional dapat menjadi alasan dimana suara lirih dan tertekan tak butuh saringan untuk sampai dihadapanNya. Tuhan mendengar doa kaum terlemah.

Dalam daulat rakyat, suara dikuantifikasi sebagai perlawanan terhadap elit yang enggan bertanggungjawab. Lahirlah slogan one man one vote. Itupun bukan prinsip demokrasi, tapi strategi kaum alit menaklukan minoritas penguasa agar tercipta keseimbangan suara. Jumlah melawan mutu.

Malangnya, ketika suara mayoritas tak mampu menghadirkan representasi berbobot, Ia hanya meninggalkan wakil yang tolol dan dungu. Socrates (399 SM) menghindari ide memilih pemimpin tanpa menakar kualitas masyarakat dari sisi kecerdasan dan urusan perut. Mayoritas pandir hanya memproduk pemimpin bodoh.

Kritik terhadap suara yang dihasilkan dari otak dan lambung kosong kini tampak dimana-mana. Kepemimpinan buruk disamping suara lebih terdengar berisik bak sound horeg. Mendulang suara dari kebisingan popularitas dan kemelaratan yang disumpal bansos. Suara kehilangan kejernihan kecuali penghiburan instan bagi penikmat jalanan.

Suara-suara berbobot dalam masyarakat penting dicari dan diakomodir. Tapi kecakapan berbicara (parle, parler; Perancis) butuh garansi tumbuh di atas integritas. Sebabnya Aristoteles lebih percaya pada kaum bijak-filosofis ketimbang politisi-pragmatis dalam urusan bernegara. Disitu dilema dan kesulitannya.

Sejak kelahirannya, demokrasi menanti suara manusia untuk dikapitalisasi menjadi sumber legitimasi. Surat suara bermakna kursi. Kursi dikonversi menjadi jabatan. Jabatan berarti fasilitas penguasaan sumber daya. Kata Marx (1883), salah satu sumber daya paling kompetitif dan berbahaya tiada lain adalah kekuasaan.

Kekuasaan dapat membungkam suara. Kekuasaan pula yang dapat melonggarkan moncong manusia untuk bicara. Kekuasaan pada akhirnya mengontrol suara. Apakah dapat dilantangkan sebebas suara bayi saat lahir, dipelankan, atau cukup dibisikkan lewat wakilnya di parlemen.

Suara-suara tak terkontrol sudah bukan rahasia dikapitalisasi lewat mekanisme tertentu. Pasar penjualan suara terjadi tiap kali demokrasi mengalami siklus menstruasi lima tahunan. Makin kompetitif semakin bernilai. Ada bahkan yang tak berharga, diobral. Dibeli gelondongan lewat calo pilpres, pileg dan pilkada dengan bandrol 100-500 ribu perkepala.

Suara-suara berharga ketika Ia berhasil memenuhi ambang batas. Lahirlah pemimpin dan atau wakil rakyat. Tak jarang suara terbuang percuma, hangus, dan bahkan ditransaksikan di pasar gelap menjadi kursi. Disitu muncul kursi haram kata Mahfud MD ketika menguji keabsahan suara rakyat di Mahkamah Konstitusi.

Hilangnya kesadaran kognitif dan etik terhadap suara menjadikan Ia tak punya nilai apa-apa. Padahal sekecil apapun suara kita Ia memiliki nilai yang sama, kata Mahatma Gandhi (1891). Dengan kesadaran itu kita tau kapan dan kepada siapa sepatutnya suara kita dititipkan. Dan dengan kesadaran itu pula kita paham kapan suara mesti ditarik dan dievaluasi kembali. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.