Tabiat Ilmiah dalam Demokrasi Dunia Maya

oleh -63 Dilihat
Agus Suryadi. (ist)

Oleh :

Dr. Drs. H. Agus Suryadi, M.Si.

(Pemerhati Fenomena Pemerintahan)

 

KILASBABEL.COM – Sejak pidato Abraham Lincoln yang terkenal di Gettysburg-Pennsylvania pada 19 November 1863 tentang visi demokrasi yang sederhana dan konkret yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, Demokrasi menjadi sebuah ideologi yang mewarnai mayoritas sistem pemerintahan di dunia.

Demokrasi sebagai seperangkat ide-gagasan-konsep memiliki banyak genetik-bawaannya baik yang positif maupun negatif. Hal ini merupakan sesuatu yang lumrah dan relatif dalam dimensi sebuah ideologi. Demokrasi membawa hukum besi yang melekat dalam dirinya yaitu“semakin tinggi derajat demokrasi sebuah negara, kebebasan individunya semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah derajat demokrasi sebuah negara maka kebebasan individunya juga semakin terbatas karena kehidupannya lebih banyak diatur oleh negara”.

Beranjak dari hukum besi tersebut di atas, maka muncullah beragam dalil pemerintahan, antara lain menyebutkan“pemerintah yang baik adalah yang paling sedikit mengatur”. Sementara itu dari perspektif ilmu dasar ekonomi muncul beberapa aliran, antara lain Mazhab Adam Smith yang liberal dalam bentuk invisible hand maupun Mazhab John Maynard Keynes yang menisbahkan intervensi campur tangan negara.

Dalam turus akademik semua perkembangan ilmu pasti mengalami falsifikasi. Hal ini yang mencari serta menjadi keseimbangan baru dalam pengembangan ilmu secara teoritis maupun praksis.

Sekelumit dinamika di atas berkelindan menampilkan perspektif baru terkait dengan basis demokrasi yang menjadi kiblat peran pemerintah dalam mengelola urusannya yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak (bonum commune) seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang begitu pesat dan canggih.

Revolusi teknologi, komunikasi dan informasi di era revolusi 4.1 maupun revolusi 5.1 akan dan telah mengubah paradigma hubungan antara Negara (state) dan warga negara (citizen). Kesemua hal tersebut bermuara pada pengelolaan komunikasi informasi. Pada tataran yang kecil, kemajuan dan kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi memicu dan menyuburkan perangai serba boleh (permissive) dalam kultur masyarakat yang lemah dan itu kita lihat, alami, rasakan dari beragam fenomena percikan konflik dunia maya yang kadang kala miskin substansi tetapi kaya intrik.

Di era paska kebenaran (post truth) hampir semua lini kehidupan mengalami situasi yang dilematis, sulit untuk mengetahui secara mudah data-informasi yang sahih (valid). Informasi palsu (hoaks) menjadi sesuatu produk yang melekat dalam kegiatan komunikasi. Kehadiran hoaks secara alamiah menjadi anak kandung dari era paska kebenaran.

Di sisi lain budaya patrimonial dari masyarakat kita membuat ragam budaya instan semakin menguat. Fenomena “cepat heran dan mudah kaget” akan suatu hal yang terkait dengan berita menyebabkan  rasa kontrol (control sense) akan nilai kesahihan (validitas) informasi menjadi barang mahal.

3 (Tiga) Paradigma Kekuatan

Kekuatan sebagai faktor dominan dalam kehidupan manusia sangat mempengaruhi pola kehidupan mulai dari hilir (keluarga) sampai ke hulu (Negara). Kerangka ini menjelma dalam bentuk paradigma yang menjadi pedoman dalam tata kelola baik secara mikro maupun makro.

Dalam sejarah peradaban manusia mengalami perjalanan panjang paradigma kekuatan yang terbagi dalam 3 (tiga) paradigma antara lain kemakmuran sebagai kekuatan (wealth is power), pengetahuan sebagai kekuatan (knowledge is power) dan informasi sebagai kekuatan (Information is power).

Ketiga paradigma di atas memiliki beragam pemicu dan pemacu arah perkembangan peradaban. Paradigma wealth is power, melahirkan feodalisme-kapitalisme yang berujung pada kolonialisme. Sementara itu paradigma knowledge is power menjadi embrio revolusi industri awal. Adapun paradigma information is power berbenih pada pengembangan teknologi komunikasi dan informatika yang menjadi senjata keunggulan sebuah bangsa.

Galibnya 3 (tiga) paradigma tersebut bila tidak dipahami serta dikelola dengan benar akan menjadi alat dominasi baru yaitu alat mandat perang baru yang oleh Bung Karno dikenal sebagai Neo Kolonialisme dan Neo Imperialisme.

Demokrasi Dunia Maya

Dalam ilmu pemerintahan, derajat yang tinggi dalam hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah adalah warga negara (citizen). Konsep ini lebih luas melingkupi konsep pelanggan (costumer), konsumen (consumen) maupun klien (clien) serta menggambarkan kesetaraan.

Di era revolusi tekonolgi komunikasi dan informasi semua individu yang terakses ke media sosial meramaikan ranah dunia baru yaitu demokrasi dunia maya. Adagium dalam dunia maya adalah“Kekuasaan tertinggi berada di tangan Netizen”. Dunia bayangan yang penuh dengan dengan ekspresi keriuhan spirit subjektivitas tanpa kontrol, kebenaran relatif yang monolitik. Kegaduhan di dunia bayangan ini biasanya landasan umpan aksi-reaksi secara fisik sering menyebabkan kelelahan hidup berbangsa dan bernegara. Sirkulasi informasi yang masif sangat mewarnai segala aspek kehidupan. Bila informasi tersebut adalah hoaks akan menimbulkan perbelahan dan keterbelahan persepsi dan sikap yang memicu konflik.

Hal tersebut diatas semakin memperkuat adagium Livingstone bahwa pesan tidak memiliki pasar (there’s no market for messages), artinya siapa saja dapat menjadi produsen maupun konsumen pesan yang disampaikan melalui berbagai media, sehingga ini berpotensi menghasilkan informasi sampah dan arena pembibitan para pendengung partisan (buzzer). Kondisi ini harus disikapi dan ditata kelola secara benar untuk menghindarkan semua elemen habis energinya dalam pertikaian yang penuh bayang-bayang (tidak jelas) itu. Diperlukan keseimbangan penggunaan hak dan kewajiban dalam berkomunikasi serta kecerdasan dalam mencerna semua informasi di dunia maya.

Kondisi ini melekat dan akhirnya merupakan sesuatu yang eksisting hadir di tengah kehidupan kita. Peranan yang harus dimainkan pemerintah antara lain, adalah mengintroduksi masyarakat yang yang terbuka yakni masyarakat yang memiliki kesadaran akan hak, kewajiban dan tanggung jawabnya secara seimbangan selayaknya warga negara. Ruang publik diisi dengan fasilitasi dan pendidikan kewarganegaraan yang toleran-multikultural; Menyesuaikan pengaturan perundangan yang terkait dengan dunia maya dengan substansi yang jelas (clear) tidak multi tafsir serta menginisiasi restorative justice; Membudayakan tradisi tabiat ilmiah yang mengutamakan check, recheck and cross check dalam setiap penyikapan komunikasi informasi.

Bila kita meminjam konsep menguji kebenaran dalam filsafati lmu, maka perlu pemahaman terhadap konsistensi, koherensi dan utilitas dari data informasi yang berkembang. Dalam khazanah kultur kearifan Islam, kesahihan sebuah hadist sangat tergantung dari verifikasi sanadnya. Perlu kecerdasan mencerna raungan serigala walaupun hadir dalam bentuk sosok kawanan domba.

Konsekuensi logisnya adalah mendesak dibutuhkan spirit cara hidup scientific tempering.Scientific tempering yang merupakan tabiat ilmiah guna menggali kebenaran dan pengetahuan baru yang melibatkan sikap keterbukaan seseorang untuk berani mengubah pendapat lamanya berdasarkan bukti baru berpijak pada fakta yang dapat teramati dan memiliki kedisiplinan menggunakan nalar. Watak ini menolak ide tanpa pembuktian, bila tidak maka kebijakan yang lahir tidak berbasis bukti hanya opini.

Tabiat ilmiah diharapkan akan menghadirkan apa yang diimpikan oleh Noveck bahwa tata kelola teknologi komunikasi dan informasi pemerintahan dapat membuat pemerintahan lebih baik (better government), demokrasi menjadi lebih kuat (democracy stronger) dan masyarakat menjadi lebih berdaya (citizen empower). (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.