Maximus, Birokrasi dan Politisi

oleh -187 Dilihat

Oleh :

Prof. Muhadam

(Ketua Harian MIPI/Guru Besar Ilmu Pemerintahan IPDN)

KILASBABEL.COM – Film epik pertama Gladiator yang dibintangi Russel Crowe (2000) menampilkan bagaimana seorang birokrat militer mundur dari posisi tertingginya sebagai jenderal. Maximus bukan jenderal biasa. Memenangkan perang demi perang dengan gemilang, tapi berakhir oleh pengkhianatan.

Raja Commodus mengambil alih kekuasaan. Menurunkan Maximus yang populer dimata rakyat, prajurit, bahkan pendahulunya, Kaisar Marcus Aurelius. Maximus dihina, dimatikan kariernya, dibunuh keluarganya, dibuang untuk bertempur sampai mati sebagai gladiator.

Maximus hanya ingin mempertahankan prinsipnya sebagai seorang birokrat sejati. Namun sehebat apapun Ia, nasibnya bergantung pada putusan politik sang raja. Birokrasi hanya mesin dari kekuasaan yang sombong dan liar. Ia tak punya tameng yang kokoh untuk bertahan lama.

Meski birokrasi punya sistem internal melakukan rekrutmen, Ia dituntut loyal. Meritokrasi lewat mekanisme baperjakat, open biding, job fit dan manajemen talenta pada akhirnya bersimpuh di kaki politisi. Birokrasi tak bisa mengatur dinamika politik, tapi sebaliknya.

Ratusan tahun kemudian, Max Weber (1922) menggagas birokrasi modern. Ia mengandalkan profesionalisme, hirarkhi, impersonalitas, dan formalisasi sebagai prinsip dasar. Tujuannya menciptakan birokrasi yang kuat, walau tetap saja tunduk pada siapa penggunanya. Birokrasi bergantung pada warna politik.

Birokrasi tak cukup dibenahi dengan bangunan struktural dan prinsip-prinsip semacam itu. Ia butuh kemampuan hidup harmoni dengan politisi. Makin luwes dan gelap makin baik. Dalam gambaran sosok itu, birokrat menjadi realistis, kolaboratif, dan hidup simbiotik-mutualistik.

Birokrasi ideal membawa kultur Maximus. Punya konsistensi, profesionalisme, kedisiplinan, loyalitas, dedikasi, keberanian, etika, dan sopan-santun. Meski kesantunan berlebihan terkadang menutup kejujuran, menampilkan kemunafikan, basa-basi, bahkan kebohongan.

Politisi membawa budaya Commodus. Menuntut kebebasan, menukar pengaruh dengan semua hal yang menguntungkan, mencipta konflik, bertindak licik, menipu, menabrak, bahkan memproduksi gagasan yang membingungkan. Politik tak butuh idealisme, cukup realistis agar langgeng kata Machiavelli.

Realitas itu membuat birokrat mengambil jalan penuh resiko. Pertama, memilih jalan kooperatif agar tak berseberangan dengan kemauan politisi. Merawat harmoni walau penuh luka dan berdarah. Nurani memberontak dalam sunyi dan diam. Mereka tak punya pilihan kecuali berharap perubahan selekasnya.

Kelompok kedua, birokrat yang terang-terangan melakukan perlawanan, mengambil jarak tegas, pemberontakan. Banyak kebijakan politisi yang digugat, ditinggalkan, bahkan dilawan lewat berbagai upaya laten. Kelompok ini menjadi semacam oposisi, menjadi paria, stateless, buangan, menunggu rotasi kuasa berikutnya.

Kelompok ketiga, mengambil pilihan opurtunis. Mencari peluang di tengah pro dan kontra. Punya insting dan kemampuan beradaptasi, dapat berubah menjadi Bunglon, atau mengganti warna kulit seperti Gurita. Bukankah yang survive bukan yang paling pintar dan kuat, tapi yang mampu beradaptasi kata Darwin.

Faktanya, kelompok ini jauh lebih panjang daya tahannya dibanding dua kelompok pertama. Mereka tau kapan harus berujar, dan kapan mesti bertindak. Birokrasi tak mesti kaku seperti paradigma Weber yang mengandung paradoks, tapi luwes seperti kritik Merton, Blau dan Meyer.

Apapun itu, setiap pilihan birokrat punya konsekuensi. Antara eksis sambil memenjarakan prinsip, atau tetap hidup merawat prinsip, atau sebisa mungkin melenturkan prinsip hingga tak sanggup lagi dibengkokkan. Semua sangat bergantung pada kedalaman moral, mentalitas dan keberanian sebagaimana ditunjukkan Jenderal Maximus. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.