Fiskal Infus, Janji Melimpah Menakar Kepemimpinan Baru Pangkalpinang Di Tengah Napas APBD yang Sesak

oleh -238 Dilihat
Eddy Supriadi, Akademisi Universitas Pertiba Bangka Belitung.(Foto/Ist)

Oleh: Eddy Supriadi 

Akademisi Universitas Pertiba Bangka Belitung 

 

———————————————————————-

KOTA PANGKALPINANG kembali menulis babak baru kepemimpinan dengan semangat perubahan. Di atas panggung kampanye, jargon dan janji bertebaran seperti bintang di langit malamterang tapi belum tentu bisa dijangkau.

Dalam suasana fiskal yang “infus dari pusat”, pasangan Prof. Udin & Cece Dessy tampil membawa visi populis yang menggugah harapan: menurunkan pajak bumi dan bangunan (PBB), memberi santunan Rp5 juta per keluarga, bantuan usaha mikro hingga Rp100 juta, serta berobat gratis hanya dengan KTP. Janji-janji yang manis, namun realitas anggaran berbicara lebih getir.

Kota Bertabur Janji, Kas Daerah Masih Kering

Kondisi APBD Pangkalpinang hari ini dapat diibaratkan seperti pasien rawat jalan bisa bergerak, tapi tergantung selang infus dari pemerintah pusat. Lebih dari 80% pendapatan daerah masih bersumber dari transfer dana pusat (DAU, DAK, dan DBH). Ruang fiskal untuk program baru menjadi terbatas, apalagi untuk janji populis bernilai miliaran rupiah per tahun.

Jika tidak hati-hati, visi mulia bisa terjebak menjadi beban struktural keuangan daerah. Sebab, berobat gratis, santunan hidup layak, dan kenaikan honor perangkat lingkungan bukan sekadar wacana moral, tetapi angka yang harus dikelola dengan presisi fiskal.

Realitas Fiskal

Dalam kacamata akademis, Prof. Udin dan Cece Dessy membawa gaya kepemimpinan transformasional ingin mengubah wajah kota dengan semangat inklusif dan keberpihakan pada rakyat kecil. Namun, dalam konteks fiskal terbatas, kepemimpinan seperti ini harus berpadu dengan karakter entrepreneurial governance pemerintahan yang kreatif menggali sumber daya lokal, bukan hanya menunggu transfer pusat.

Pemimpin Pangkalpinang ke depan bukan sekadar aktor panggung politik, melainkan manajer keseimbangan (manager of balance). Ia harus menyeimbangkan janji dan realita, idealisme dan neraca, antara politik rasa ingin menolong dan kewajiban akuntabilitas publik.

Janji Harus Bertumpu Pada Aturan

Janji politik, betapapun mulianya, tidak bisa berdiri tanpa dasar hukum. Prinsip money follow program dalam Permendagri No. 77 Tahun 2020 menegaskan bahwa setiap program harus didukung oleh kemampuan fiskal dan mekanisme regulatif yang sah.

Misalnya, PBB gratis hanya dapat diterapkan melalui Peraturan Wali Kota dan basis data warga miskin yang terverifikasi. Begitu pula bantuan UMKM Rp 5-100 juta harus masuk dalam pos belanja hibah atau program pemberdayaan ekonomi dengan standar akuntabilitas ketat.

Kebijakan sosial yang emosional tanpa pijakan hukum dan perencanaan fiskal akan berisiko menjadi jebakan populisme anggaran.

Menyentuh Akar Realitas

Kebijakan pro poor (berpihak pada masyarakat miskin) seperti yang diusung Prof. Udin – Cece Dessy memiliki nilai sosial tinggi. Namun, tantangannya terletak pada efektivitas dan ketepatan sasaran. Santunan hidup layak dan bantuan modal harus bertransformasi menjadi social investment, bukan social charity semata.

Kota Pangkalpinang memerlukan program pemberdayaan ekonomi rakyat bukan sekadar pembagian uang tunai, tetapi penguatan kapasitas usaha, pelatihan digital UMKM, dan pembukaan akses pasar. Rakyat tidak butuh sekadar dibantu; mereka butuh ditopang agar bisa berdiri sendiri.

Etika Kepemimpinan Publik

Dalam kacamata politik, kepemimpinan publik adalah amanah moral, bukan alat pencitraan. Etika kepemimpinan menuntut rasionalitas dalam menjanjikan sesuatu. Janji boleh tinggi, tetapi akal sehat fiskal harus tetap menapak di bumi.

“Berobat gratis hanya dengan KTP” bisa menjadi simbol moralitas inclusiveness, tapi juga ujian rasionalitas kebijakan. Apakah sistem kesehatan daerah siap menanggung biaya pelayanan tanpa mengorbankan kualitas dan keberlanjutan? Kepemimpinan yang filosofis adalah kepemimpinan yang tahu batas antara niat baik dan kemampuan nyata.

Jalan Keluar: Kreatif Gali PAD, Bukan Sekadar Potong Pita

Pangkalpinang tidak bisa terus bergantung pada DAU dan DAK. Diperlukan strategi menggali Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan cara kreatif: Digitalisasi sistem pajak dan retribusi daerah.

Optimalisasi aset daerah tidur menjadi sumber pendapatan produktif. Kemitraan dengan sektor swasta untuk infrastruktur publik.

Pengembangan wisata kota, perdagangan jasa, dan ekonomi kreatif. Pemberian insentif investasi melalui kepastian hukum dan kemudahan perizinan.

Kepala daerah harus menjadi arsitek fiskal lokal, bukan sekadar pengguna anggaran pusat.

Antara Janji dan Bukti

Pangkalpinang sedang menapaki masa transisi antara “politik janji” dan “politik bukti”. Dalam ruang fiskal yang sempit, kepemimpinan baru akan diuji bukan oleh seberapa banyak program dijanjikan, tetapi seberapa berani membuat prioritas yang realistis dan berpihak pada rakyat.

Prof. Udin dan Cece Dessy memiliki modal intelektual dan sosial untuk mewujudkan itu. Namun, keberhasilan mereka bergantung pada kemampuan memimpin birokrasi dengan efisiensi, menggali potensi ekonomi lokal, dan mengubah “janji kampanye” menjadi keberanian fiskal.

Pangkalpinang tidak butuh pemimpin yang pandai menepuk dada, melainkan yang berani menunduk, bekerja, dan menghitung setiap rupiah untuk rakyat kota pangkalpinang. Karena pada akhirnya, kepemimpinan bukan soal janji dan seberapa keras berbicara, tetapi seberapa nyata bekerja di tengah napas APBD yang kian ketat transfer pusat ke daerah.(*)

No More Posts Available.

No more pages to load.