Oleh :
Prof. Muhadam
(Ketua Harian MIPI/Guru Besar Ilmu Pemerintahan IPDN)
KILASBABEL.COM – Pelemahan sistem pemerintahan kini tak hanya menyentuh organ strukturalnya, juga substansi dan kultur. Struktur menampilkan obesitas dengan gerbong birokrasi yang tambun dan panjang. Pemerintahan tampak lamban dalam setahun ini di tengah tekanan internal dan global.
Di sentral gravitasi, organ pemerintah membengkak menjadi 112 mentri (48 mentri, 54 wakil menteri, dan 10 pejabat setingkat mentri). Pelebaran disebabkan oleh resentralisasi urusan, dan tumbuhnya organ parastatal pelaksana projek nasional seperti MBG, SR, dan KMP.
Dibanding sebelumnya, struktur pemerintah hanya 60 kementrian (34 mentri, 18 wakil mentri, dan 8 pejabat setingkat mentri). Inipun pernah menuai kritik kelebihan lemak dibanding protein yang berpotensi munculnya kolesterol jahat di tengah kelesuan ekonomi dalam negeri.
Pada substansi, sistem pemerintahan kehilangan esensi yang menghubungkan dirinya dengan masyarakat. Bagian penting itu adalah kebebasan yang kian menyempit, janji yang makin dilupakan, serta pendengaran yang kian rungu. Setidaknya pada sejumlah aturan yang membatasi gerak warga dan pemerintah daerah.
Daerah kehilangan kebebasan mengelola urusan rumah tangganya. 38 urusan yang pernah di deliver lewat kebijakan desentralisasi makin kempis. UU Minerba dan Cipta Kerja penanda janji otonomi daerah perlahan lenyap. Daerah merasa kurang di dengar dengan alasan spending governance belum berpihak pada rakyat.
Otonomi daerah punya visi memakmurkan rakyat (Djohan 2024). Kini bukan lagi agenda prioritas. Sekedar sejarah yang rajin diulang-tahunkan. Ia kehilangan asa ketika bagian yang menjadi haknya tersisa 25% dibanding pusat yang mengelola 75% dari porsi APBN di 2026. Padahal sumber daya berasal dari daerah yang dipasok ke pusat.
Lebih lagi, objek yang akan dimakmurkan faktanya ada di daerah. 70% rakyat sebagai penerima manfaat ada di desa (Kompas, 2024). 74% pegawai ada di daerah (BKN, 2024). 80% urusan dikerjakan di daerah. Dengan kenyataan itu, substansi kesejahteraan sejogjanya diletakkan di daerah bukan di pusat.
Aspek terakhir yang mengalami delegitimasi adalah kekuasaan. Kerusakan kronis bukan sekedar terjadi di hilir, tapi di hulu. Kekuasaan kehilangan etikabilitas. Di Senayan, pemerintahan di drive oleh 211 (34%) politisi yang tak jelas entah sekolah dimana (BPS, 2025). Satu ijazah sulit dibuktikan, lebih dari itu banyak.
Panorama itu menjadikan persepsi masyarakat yang direpresentasikan lewat kepatuhan terhadap aturan pemerintah kian rendah. Bila pembuat aturan diragukan, bagaimana pula produk mereka yang sering berakhir di pengadilan konstitusi. Belum lagi aspek moralitas.
Dari sisi itu tentu tak diragukan. Laporan Ipos (2025) menunjukkan, tak ada profesi yang paling tak dipercaya di Indonesia kecuali politisi (45%) sebelum pejabat kabinet dan polisi. Mungkin ada benarnya kata filosof klasik, politisi adalah pekerjaan paling kotor sekaligus paling dihormati.
Guna menguatkan kembali sistem pemerintahan, Lawrence M. Friedman mengingatkan dalam The Legal System; A Social Science Perspective (1975) penting dievaluasi kembali kerapuhan struktur, kekosongan substansi, dan kemiskinan kultur lewat reformasi birokrasi jilid dua, khususnya di sentrum kekuasaan. Ini sejalan dengan survei dan rekomendasi CELIOS tentang setahun raport kinerja pemerintahan (2025). (*)