Strategi Daerah di Tengah Ancaman Turbulensi Fiskal

oleh -169 Dilihat
Foto : istimewa.

Oleh : 

Prof. Muhadam

(Ketua Harian MIPI/Guru Besar Ilmu Pemerintahan IPDN)

 

KILASBABEL.COM – Daerah sebagai akar tunjang pemerintah memasuki fase harap-harap cemas. Kecemasan lantaran renggangnya kepastian keuangan daerah pasca efisiensi ketat di 2026. DAU diasumsikan menyusut, DAK raib, DBH tak kunjung pasti, serta PAD pun kian mengering. Para kepala daerah mesti berpikir keras.

Relaksasi itu mulai terasa, lebih lagi tahun depan yang kucurannya sisa 25%. Daerah mesti menghitung ulang gaji dan tunjangan pegawai, ikhtiar menjaga keseimbangan belanja rutin dan modal. Implikasinya tunjangan mesti dikurangi, sewa dihilangkan, atau infrastruktur dibatasi.

Daerah dipaksa melakukan evaluasi, efisiensi, survive, atau mencari alternatif di tengah tuntutan atas jualan kampanye sebelumnya. Evaluasi berkonsekuensi memotong belanja pegawai. Ruang dimana sebagian birokrat mengais untung dengan berbagai cara.

Efisiensi mendorong perecanaan prioritas. Hanya yang dibutuhkan, bukan sekedar penting. Prakteknya jumlah yang tertulis tak seindah yang dibeli. Mark up menjadi perkara rutin birokrasi. Tugu lebih mahal dari irigasi, sindir Purbaya (2025). Biaya vitamin lebih besar dari seperangkat alat sekolah.

Daerah perlu survive. Bersabar memanfaatkan apa yang ada. Bertahan sambil berharap di tengah jalan ada relaksasi jilid dua. Pokoknya terbayar gaji dan tunjangan, selebihnya buat bertahan hingga kualitas fiskal normal kembali. Birokrasi butuh ikat pinggang ketat.

Daerah perlu merayu pusat, sekalipun semua tau seluruh kekayaan asalnya dari daerah juga. Mengerahkan para OPD bertamu, berbincang dan bernegosiasi atas sejumlah proyek yang mungkin terselip dimana-mana. Mengingatkan pusat akan haknya walau mungkin tak seberapa.

Daerah perlu membujuk para investor. Khususnya investor kelas kakap yang hidupnya di luar negara. Mereka cukup diberi kepastian, jaminan dan proteksi. Tanpa insentif semacam itu investasi bukan saja lesu, juga melambat. Semacam pilihan rasional dalam ekonomi agar pasar tetap sehat.

Daerah perlu menggenjot pendapatan. Melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak dan retribusi secara berhati-hati. Pengalaman Pati dan Bone cukup jadi pelajaran (2025). Pajak berlebih memicu protes. Namun tanpa pajak yang 83% kita tak mungkin bersandar pada sumber daya alam yang hanya 17%.

Daerah perlu memanfaatkan simpanan bertumpuk di bank. Laporan Mentri Purbaya (2025) menunjukkan tak sedikit Pemda mengendapkan uang segar di laci bank agar berbunga-bunga. Daerah mesti menyerap agar tetesannya berputar di tengah lesunya ekonomi lokal.

Bila semua upaya itu dapat dilakukan, daerah dapat menghindari potensi kebangkrutan akibat hilangnya sumber pendapatan tetapnya selama ini. Daerah pun dapat belajar menghadap resesi dan turbulensi. Disini kepemimpinan di uji, loyang atau emas.

Bila Covid 19 Pemda diuji untuk royal belanja bagi kepentingan masyarakatnya, kali ini Pemda pun di uji mengetatkan arus belanja untuk kepentingan yang sama, rakyat. Hanya saja, bila dulu langsung dilayani di daerah, sekarang dilayani dari pusat.

Tentu ada banyak efek negatif dan positifnya. Namun tekanan semacam ini biasanya melahirkan kepemimpinan yang adaptif dan kreatif. Saatnya para pemimpin di daerah beralih dari kepemimpinan transaksional ke level transformatif yang memicu lahirnya gagasan sebagai jalan keluar, bukan sekedar reward & punishment. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.