KILASBABEL.COM – Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) bersinergi bersama Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepulauan Bangka Belitung (Babel) bersinergi mendorong bagaimana menjadikan desa mandiri dalam menghadapi perubahan iklim.
Hal itu dilakukan salah satunya melalui Lokakarya Penyelarasan Program Adaptasi Iklim di Bangka Belitung, pada Selasa (28/10/2025).
Lokakarya ini mempertemukan mitra desa dan pemerintah daerah. Adapun tujuannya adalah mengintegrasikan program adaptasi iklim dari tingkat tapak hingga provinsi, sekaligus memperkuat kapasitas desa.
Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Babel, Kurnia Alzulami, mewakili Pj Sekda Babel, Fery Afriyanto dalam sambutannya menegaskan bahwa Bangka Belitung sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim karena merupakan kawasan kepulauan.
Ia juga menyebut dampak yang telah dirasakan oleh masyarakat Babel di antaranya meliputi penurunan kualitas lingkungan, berkurangnya ketersediaan air yang memengaruhi sektor pertanian, serta meningkatnya risiko bencana alam dan penyakit menular.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui “Data Bencana Indonesia 2024” mencatat bahwa bencana alam terkait cuaca ekstrem telah menyebabkan 245 korban mengungsi dan terdampak, sementara bencana banjir menyebabkan 2.964 korban mengungsi dan terdampak dan 563 rumah terendam banjir.
Kurnia menjelaskan bahwa Pemprov Babel telah menunjukkan komitmen melalui Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan telah menyusun Rencana Aksi Adaptasi Perubahan Iklim pada 2024.
“Diperlukan sinergitas seluruh pemangku kepentingan untuk menghadapi perubahan iklim di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung melalui upaya aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, mulai dari masyarakat tingkat tapak hingga ke pemangku kebijakan,” tutupnya.
I Gusti Ngurah Paulus, Spesialis Ketahanan Pesisir YKAN, menjelaskan urgensi kegiatan ini adalah untuk menjembatani masyarakat desa dengan Pemprov Babel dalam menghadapi dampak perubahan iklim di Babel.
“Meskipun dampak perubahan iklim paling terasa di tingkat desa, namun masyarakat desa sering kesulitan bertindak. Padahal Pemerintah Provinsi sudah memiliki banyak inisiatif, seperti Program Kampung Iklim (Proklim) dari DLHK, Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), dan Desa Tanggung Bencana (Destana) dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Jadi, sebenarnya lokakarya ini untuk menjembatani masyarakat desa dengan pemerintah melalui forum kolaborasi,” ungkap Paul.
Ia menambahkan, tujuan lain dari penyelenggaraan lokakarya ini adalah agar masyarakat desa dapat mengetahui dukungan apa saja yang tersedia. Salah satunya adalah opsi budget tagging (penandaan anggaran) di Bappeda yang memungkinkan desa menganggarkan program perubahan iklim, misal pemanenan air hujan.
Paul berharap, peran YKAN sebagai fasilitator dapat memastikan inisiatif muncul dari masyarakat sendiri dan memantik desa untuk dapat mandiri dalam menjalankan program yang berguna bagi perkembangan desa.
“Forum kolaborasi dan pengembangan kapasitas ini dapat bermanfaat bagi masyarakat desa pesisir agar dapat berjejaring langsung dengan mitra Organisasi Perangkat Daerah (OPD) atau mitra sekitarnya. Desa juga bisa memiliki program sendiri terkait penanganan perubahan iklim di desa masing-masing,” pungkasnya.





