Oleh :
Prof. Muhadam
(Ketua Harian MIPI/Guru Besar Ilmu Pemerintahan IPDN)
Ketika mayoritas anggota Kabinet Merah Putih (KMP) kehilangan kredibilitas karena persambungan rezim sebelumnya, publik kehilangan trust dan harapan tentang perubahan yang dinanti. Mereka butuh hero untuk merelaksasi kegelisahan.
Disitu muncul Purbaya dengan seperangkat _ghost writter_ nya. Menjelaskan tentang apa yang telah, sedang dan akan terjadi di sekitar ekonomi kita yang stagnan di angka 4-5%. Ia bahkan mencelup komitmennya dengan sisi spiritualitas. Tua, dan mati masuk surga. Itu membuat Ia menyala.
Purbaya memengaruhi nalar publik tentang sesuatu yang disembunyikan selama ini. Ia mengarahkan biduk kemana mesti di kayuh di tengah sampah dan kerusakan tata kelola keuangan negara.
Ia menggerakkan fiskal agar menetes, tak tertahan oleh otoritas keuangan (BI). Ia memindahkan secepatnya sebelum digarong bersama wakil rakyat. Ia paham itu uang rakyat yang dititip pada negara, tapi bukan untuk kesenangan sekelompok orang.
Tak lupa, Ia menstimulasi ekonomi yang selama ini seret untuk tumbuh. Tentu saja semua upaya keras yang tampak sungguh-sungguh itu menabrak kenyamanan mayoritas anggota kabinet di comfort zone. Ia disangka Clint Easwood dalam Koboi, Unforgiven.
Fortunately, publik senafas dengan kesendirian Purbaya di tengah kabinet karatan penuh tuntutan. Publik tau Purbaya sendirian, sebab itu cara terbaik agar Ia tak cepat pudar dari gelanggang adalah memberikan dukungan moril lewat media sosial.
Cara itu tampak efektif ketika berhadapan dengan para penjarah kelas kakap yang bernaung lewat aturan. Purbaya diusung oleh publik yang muak dengan praktik jilat-menjilat. Ia seakan berjalan nyata sebagai citizen di tengah realitas dukungan netizen.
Ia ingin jujur melempar bola ke presiden. Tak perlu takut, apalagi dengan hanya mengandalkan keterampilan menjilat sebagai bentuk kompetensi yang untuk hal semacam itu saja anda semua tak mampu, kata Jubir Istana Hasan Nasbi.
Karenanya, Purbaya menjadi fenomenal bak Mega di tengah tekanan Orba, SBY di tengah tindihan Mega, Jokowi di tengah kebosanan formalistik SBY, dan Prabowo di tengah kepalsuan Jokowi.
Fenomena kepemimpinan adalah realitas sosial yang terus berulang. Dimasa lalu orang menanti datangnya pemimpin revolutif. Muncullah semacam Ratu Adil, Soekarno. Tapi Ia dimakan oleh jaman.
Realitas berulang lagi. Soeharto muncul dengan harapan baru. Ia lakukan perubahan cukup lama, 32 tahun. Tapi Ia pun dilahap masa. Tumbang oleh perubahan yang dibuatnya sendiri.
Habibie, Mega, dan Gusdur pun sama, sekalipun dengan dukungan politik minim. Tiba-tiba Emak-emak merindukan gaya formalistik SBY. Namun Ia pun pergi dengan kebosanan. Publik mulai butuh yang fleksibel, lawan dari kekakuan militer.
Datang Jokowi dengan blusukan yang menyentuh nurani. Tapi Ia pun setali tiga uang. Disanjung lalu di rujuk ke buih dengan alasan penuh kebohongan. Publik seakan sadar dari sirep.
Bukan mustahil Purbaya akan menjadi rebutan parpol sebagaimana populisme SBY dan trend demagog ala Jokowi. Bangsa ini lagi gandrung dengan fenomena seperti itu. Apalagi ditunjang oleh pesatnya kemajuan media sosial.
Belajar dari semua itu, besok pun, publik bukan mustahil akan boring dengan kepemimpinan sentralistik dan formalisme. Mereka butuh kepemimpinan sipil yang berani dan cerdas. Di kelak hari tersedia Purbaya, Anies dll. Mereka hanya menunggu publik sampai pada titik jenuh di waktu yang tepat. (*)






