Kembalinya Ruang Birokrasi Sipil dan Reformasi Kepolisian

oleh -45 Dilihat
Muhadam. (ist)

Oleh : 

Prof. Muhadam

(Ketua Harian MIPI/Guru Besar Ilmu Pemerintahan IPDN)

 

KILASBABEL.COM – Putusan MK No. 114 tanggal 13 November 2025 terkait pembatasan gerak polisi di ruang birokrasi sejatinya memberi angin segar bagi Aparatur Sipil Negara. Ruang itu rasanya telah lama didominasi tanpa nilai competitiveness. Kini, ibarat slogan patriotik, ‘mari bung rebut kembali!’

Setiap kali terbuka open biding, aparat sipil negara antri panjang. Sementara yang lain ‘nyelonong boy’ hingga ke puncak kuasa. Tak ada protes dari pucuk, apalagi dari instansi asal. Semua diam, seakan itu jatah khusus yang takut dipercakapkan, apalagi dipersoalkan.

Putusan MK mensterilisasi birokrasi. Tinggal bagaimana mengisinya. Bila alasannya aparat sipil tak cukup profesional duduk disitu, saatnya membuktikan bahwa lebih tak profesional lagi jika hanya menjadi watch dog di ruang birokrasi. Aparat Sipil Negara mesti membuktikan bahwa mereka capable.

Putusan itu seakan mendorong penatnya menanti di barisan belakang dalam sistem meritokrasi. ASN kompeten, lama di jabatan, nomaden, full talenta, dan punya integritas kehilangan harapan. Jabatan terpaksa dibeli dengan risiko tinggi. Terakhir kasus Ponorogo yang menghela sejumlah OPD (Nov, 2025).

ASN kini merasa kembali ke pangkuan pertiwi. Ibarat pribumi yang terusir dari rumahnya. Sejak 10 tahun terakhir hidup tanpa arah, dipinggirkan oleh 4.351 imigran coklat dari penjaga ketertiban umum hingga eselon tertinggi. Semua diduduki hanya dengan restu orang dalam, bukan kompetisi fairness.

Kita patut berterima kasih kepada para penguji yang mewakili keresahan 4,2 juta Aparatur Sipil Negara. Saatnya polisi membuktikan profesionalisme menjaga keamanan warga sipil, tidak mencari aman di cangkang birokrasi sipil. Di situ sejogjanya profesionalisme dipertaruhkan.

Putusan MK seakan menyelesaikan separuh dari apa yang menjadi beban tim reformasi kepolisian. Tak perlu berlama-lama, publik butuh semacam makanan penutup bagi upaya mengembalikan institusi kepolisian ke jalan yang benar (on track). Profesi mulia yang dinanti publik.

Institusi kepolisian dibutuhkan sebagai penjamin keamanan sipil. Ia lahir sama tuanya dengan pemerintahan. Demikian pula militer, bertugas melindungi warga dari serangan luar. Polisi fokus pada ancaman internal, militer konsen pada ancaman eksternal. Inilah fungsi klasik pemerintahan.

Dalam konsep welfare-state, fungsi kepolisian di negara maju berkembang dalam hal pendekatan pencegahan (community policing), merespon keadaan darurat non kriminal, penegakan HAM, keamanan lingkungan, serta manajemen krisis keselamatan umum.

Konsekuensi perkembangan fungsi itu mengubah struktur kepolisian menjadi lebih kompleks. Organisasinya disesuaikan, tanpa perlu menyeberang kemana-mana dengan alasan melimpahnya perwira. Jadi reformasi pertama adalah mendudukkan kewenangan dan fungsinya.

Kewenangan dibatasi pada ruang lingkup keamanan. Urusan itu dikembangkan secanggih mungkin agar warga merasa dilindungi. Profesionalisme maknanya memahami tugas pokoknya. Dengan sendirinya reformasi menuju ke titik kedua, yaitu desain organisasi yang sesuai kebutuhan.

Organisasi polisi sebaiknya direkonstruksi dengan mendekatkan keputusan pada masalah. Gunanya agar masalah segera diatasi tanpa menunggu instruksi berlapis. Realitas masalah keamanan ada di daerah, karenanya penting mempertimbangkan kewenangannya berada di daerah sebagaimana gubernur dan walikota di negara lain.

Ketiga, reformasi kultural penting mengubah mindset polisi sebagai abdi negara dan masyarakat, bukan penghamba kekuasaan. Mereka bersikap netral, berdiri di semua golongan, dan pengayom semua. Mereka hadir bukan menakuti seperti patung polisi, menghambat seperti polisi tidur, tapi benar-benar hadir seperti sosok Hoegeng Iman Santoso.

Dengan membatasi kewenangan, mendesentralisasikan ke otoritas terendah, polisi lebih mudah dikontrol. Ia mesti jinak dan menyatu dengan kebutuhan masyarakat, bukan aib rekening gendut. Ia sederhana, berani, dan tegas sebagai Kombes, Direktur, atau Chief of Police, bukan tentara dengan pangkat jenderal seperti klaim Naga Bonar.

Semua paham, mungkin hanya Indonesia dan India yang polisinya setingkat jenderal bak militer. Saatnya reformasi mengubahnya menjadi lebih simpel namun dengan kewenangan yang kokoh, berdampak, serta benar-benar hadir di sekitar menjadi sahabat masyarakat. Saya pikir inilah momentum strategis pasca putusan MK yang melegakan. (*)

 

No More Posts Available.

No more pages to load.