Jakarta – Kilas Babel – Total sudah ada 3 kasus COVID-19 varian Omicron B.1.1.529 di Indonesia. Beberapa catatan penting menyiratkan perlunya antisipasi ekstra terkait risiko penularannya.Kasus pertama Omicron di Indonesia ditemukan pada seorang petugas kebersihan di RSDC Wisma Atlet Kemayoran berinisial N. Temuan ini diumumkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada Kamis (16/12).
Belakangan, Kementerian Kesehatan kembali mengumumkan 2 kasus lain varian Omicron pada Sabtu (18/12/2021). Keduanya merupakan kasus impor, ditemukan pada seorang pria yang baru tiba dari Amerika Selatan dan seorang pria dengan riwayat perjalanan dari Inggris.
Berikut beberapa fakta dan catatan penting dari ketiga temuan kasus pertama Omicron di Indonesia.
1. Tak semua impor
Pada kasus pertama, N disebut tidak memiliki riwayat bepergian ke luar negeri. Meski ada kemungkinan terjadi penularan di dalam negeri, Menteri Kesehatan memastikan belum ada bukti telah terjadi penularan komunitas.
“Sampai sekarang belum kita lihat adanya transmisi komunitas,” kata Menkes.
Tidak ada bukti bukan berarti tidak mungkin terjadi. Masih lemahnya genome sequencing di Indonesia beberapa kali disorot para pakar, sehingga memunculkan prediksi bahwa sebenarnya Omicron diam-diam sudah ada sebelumnya dan tidak terdeteksi.
Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi yang juga pakar penyakit menular Prof Tjandra Yoga Aditama menekankan pentingnya mitigasi berlapis. Menurutnya, tak menutup kemungkinan ada kasus penularan di dalam negeri lainnya di luar N.
“Artinya, amat perlu sekarang dilakukan pelacakan amat masif tentang penularan ke dan dari Tn N, dan juga terhadap 2 kasus baru ini serta kemungkinan kalau ada kasus baru lain di hari mendatang,” pesannya.
2. Tertular meski prokes ketat
Kasus N terjadi di Wisma Atlet, tempatnya bekerja sebagai petugas kebersihan. Sebagai tempat karantina terpusat, risikonya sudah pasti lebih tinggi. Meski demikian, protokol kesehatan juga dijalankan dengan sangat ketat di fasilitas tersebut.
“Hal ini sedikit banyak menambah informasi bahwa Omicron memang lebih mudah menular,” tegas Prof Tjandra.
Karenanya, ia mengingatkan untuk lebih disiplin menerapkan protokol-protokol pencegahan. Jika di lingkungan yang penerapan protokolnya sangat ketat saja bisa tertular, maka risikonya akan lebih tinggi jika protokol tidak diterapkan.
“Marilah kita ubah pendapat bahwa kepatuhan Protokol Kesehatan adalah ‘New Normal’ mejadi ‘Now Normal’,” pesan Prof Tjandra yang pernah menjabat direktur WHO Asia Tenggara.
3. Tanpa gejala
Kasus pertama yakni N ditemukan dalam pemeriksaan pada orang tanpa gejala. Demikian juga pada dua kasus berikutnya, tidak ditemukan gejala meski tetap harus diisolasi.
“Tidak bergejala dan sudah isolasi di Wisma Atlet karena kan PCR-nya kemarin positif,” ungkap juru bicara Kemenkes dr Siti Nadia Tarmizi terkait kondisi dua kasus Omicron Indonesia, seperti dikutip dari detikcom, Sabtu (18/12).
Menurut Prof Tjandra, bukan tidak mungkin akan ada tambahan kasus yang lain. Penyelidikan epidemiologi harus benar-benar diintensifkan karenanya.
“Artinya peningkatan test harus terus digalakkan dan kalau ada kasus harus dikarantina ketat dan semua kontaknya (atau setidaknya sebagian besar, jangan hanya 8 misalnya) harus diidentifikasi dan ditangani seksama, mungkin sampai karantina juga,” pesan mantan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kemenkes RI tersebut. (ge2)