Oleh :
Tabrani Alkamsi, ST
(Ahli Lingkungan Hidup Madya)
Udang vaname (litopenaeus vannameii) merupakan jenis udang putih yang berasal dari daerah pantai Barat Amerika, mulai dari teluk California hingga ke Peru amerika selatan. Udang ini resmi masuk ke Indonesia pada tahun 2001 berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan RI No 41 Tahun 2001. Dengan maraknya investasi saat ini di bidang Budidaya tambak udang jenis vaname, tentu akan memberikan beberapa dampak baik dari aspek sosial, ekonomi hingga dampak penurunan kualitas lingkungan hidup.
Udang jenis ini merupakan salah satu jenis udang yang cepat pertumbuhannya, dengan memiliki nafsu makan yang sangat tinggi serta dianggap lebih tahan terhadap serangan penyakit, dengan waktu pemeliharaan relatif singkat yaitu 90-100 hari per siklus.
Dengan adanya kemampuan tersebut, hingga saat ini banyak pelaku usaha baik dari pengusaha lokal asli Bangka Belitung hingga pengusaha yang berada di luar bangka Belitung melirik peluang pasar yang sangat ekonomis khususnya untuk di Wilayah Bangka Belitung.
Peningkatan kebutuhan pasar saat ini terkait dengan komoditas budidaya tambak udang memang sedang naik daun, sehingga tentu dengan adanya investor masuk ke wilayah Bangka Belitung, dapat memberikan dampak positif terhadap peningkatan ekonomi khususnya di wilayah bangka Belitung.
Akan tetapi berdampingan dengan peningkatan ekonomi dengan adanya investor masuk ke wilayah Bangka Belitung, masyarakat daerah di wilayah ini telah kehilangan beberapa asset berupa lahan milik mereka pribadi. Dengan adanya sistem jual beli lahan tersebut tentu siklus keuntungan hanya bersifat semenatara bagi masyarakat.
Setelah itu kita dapat lihat, banyak kasus masyarakat kita di Bangka, setelah paska jual beli lahan, meminta pekerjaan kepada pihak investor. Hal ini dapat kita sebut dengan “bekerja di atas tanah sendiri”. Dengan itu, besar harapan baik dari pengamat, maupaun pemerintah adanya sinergi anatara pelaku usaha dengan masyarakat setempat pada operasional kegiatan budidaya tambak udang dengan baik.
Dengan adanya aktivitas budidaya tambak udang saat ini tentu tidak lepas dengan adanya penurunan terhadap kulitas lingkungan hidup di sekitar lokasi kegiatan budidaya. Dengan itu, pemerintah lebih dapat memperhatikan usulan-usulan dari pelaku usaha pada lokasi kegiatan dengan tetap mengacu kepada daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Aktivitas dari budidaya tambak udang jenis udang vaname ini menghasilkan beberapa penurunan terhadap kualitas lingkungan hidup di sekitar. Salah satu dengan adanya aktivitas tambak udang adalah penurunan kualitas air laut maupaun air sungai yang merupakan badan air penerima dari aktivitas budidaya tambak udang.
Mengacu kepada PP nomor 22 tahun 2021, sebelum mendapatkan persetujuan lingkungan dalam sebuah usulan perizinan berusaha, maka perlu dilengkapi dengan Persetujuan Teknis terlebih dahulu. Persetujuan teknis tersebut yang terdapat pada pasal 57 ayat (4) PP nomor 22 Tahun 2021, diantaranya a. pemenuhan baku mutu air limbah, b. pemenuhan baku mutu emisi, c. pengelolaan limbah B3 dan d. Analisis mengenai dampak lalu lintas.
Dengan adanya acuan baru yang dikeluarkan pemerintah bagi pelaku usaha, maka diharapkan dapat melakukan pengendalian dan pengelolaan pencemaran terhadap aktivitas usaha sedini mungkin agar dapat dilakukan pengelolaan secara baik berdasarkan arahan dari persetujuan teknis yang telah disahkan.
Umumnya limbah dari budidaya tambak udang berupa unsur organik yang dihasilkan dari sisa pakan, maupun feses udang yang tidak terkendali di dalam kolam. Hal in tentu jika tidak dikelola dan diolah pada IPAL dengan baik (melebihi baku mutu yang ditetapkan), dapat menyebabkan terganggunya ekosistem air laut maupun sungai sebagai badan air penerima.
Akumulasi unsur organik yang terlalu tinggi pada kolam dapat menyebabkan peningkatan populasi alga (algae blooming) yang dapat mengganggu kelompok makhluk hidup air. Untuk mengurangi akumulasi dampak pencemaran terhadap kualitas air dari budidaya tambak udang, saat ini terdapat PERGUB Bangka Belitung Nomor 34 Tahun 2019 yang mengatur tentang Pedoman Pengendalian Pencemaran Air Permukaan bagi usaha tambak udang.
Untuk itu sangat diharapkan dengan adanya peraturan yang telah diatur oleh pemerintah, dapat ditaati bagi pelaku usaha dalam hal ini komoditas budidaya tambak udang.
IPAL yang dihasilkan harus sesuai dengan yang direncanakan pada peretujuan teknis yang mengacu kepada aturan PERGUB yang berlaku. Terdapat 4 kolam umumnya pada proses IPAL budidaya tambak udang, dimulai dari kolam pengendapan, oksigenasi, biokonversi dan penampungan akhir sebelum dialirkan ke badan air penerima. Fungsi-fungsi dari setiap kolam memiliki manfaat berbeda.
Dimulai dari inlet yang masuk ke kolam IPAL yang pertama yaitu berupa Kolam pengendapan /sedimentasi yang berfungsi sebagai penahan adanya kadar TSS (total suspended solid) yang sangat tinggi dan bau busuk dari kadar H2S yang berupa lumpur dan lumpur tersebut dapat dimanfaatkan kembali sebagai kebutuhan pupuk organik.
Selanjutnya terdapat kolam oksigenasi untuk menaikkan kadar oksigen dan menurunkan kebutuhan kadar oksigen biologis (BOD) yang selanjutnya kolam masuk ke kolam biokonversi yang berfungsi untuk mengubah nutrient yang dapat sebabkan eutrofikasi jadi bermanfaat buat organisme lainnya. Selanjunya pada kolam penampungan akhir yang dapat juga disebut sebagai kolam indikator, seluruh proses dari kolam-kolam sebelumnya dilakukan pengecekan kualitas baku mutu secara laboratorium. Atau dapat dengan memelihara ikan sebagai penentu indikator secara alamiah yang menandakan bahwa air tesebut sudah layak untuk diterima oleh badan air penerima.
Seluruh proses tersebut merupakan kewajiban bagi setiap pelaku usaha dalam hal ini budidaya tambak udang untuk dipatuhi. Tentu hal ini juga menajdikan indikator bagi pelaku usaha sebagai standar keberhasilan produksi dan menjadi sebuah komitmen pelaku usaha dalam berkontribusi bagi kelesatarian lingkungan hidup. Semoga! (Johny Lamutu)