Oleh :
Dr. Muhadam Labolo
(Penulis, Peneliti dan Akademisi pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILAS BABEL.COM – Aksi etik kini menyeruak di tengah berbagai tekanan yang mengancam integritas profesi. Entah profesi sebagai Pamong yang dihormati maupun pendidik yang diagungkan. Dalam kasus mundurnya tujuh guru besar di Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Hasanuddin menunjukkan bagaimana tanggung jawab moral para pendidik terhadap tugas-tugas akademik yang diembannya. Itu bukan soal kemunduran, tapi soal etika akademik yang hendak ditegakkan.
Boleh saja ketujuh guru besar tersebut mengambil jalan hukum, namun dampaknya mungkin lebih personal tanpa daya efek ke luar institusi. Risikonya pun terlalu besar bagi para penegak etik, bisa dituduh melawan atasan, indisipliner maupun insubordinasi. Dengan mundur, integritas diperlihatkan secara kolektif, sekaligus memberi pesan bagi kita bahwa etika lebih penting daripada hukum kata musikus Jazz Wynton Marsalis. Pesan lain, idealisme tak gampang diintervensi secara struktural.
Ketika 155 korban pesta Hallowen di Itaewon Korea Selatan dilokalisir, langkah pertama pemerintah mengidentifikasi dan menyelamatkan korban yang tersisa. Selebihnya tindakan etik, permintaan maaf dan belasungkawa sambil membentuk tim investigasi menyeluruh. Tujuannya mencari penyebab dan siapa yang paling bertanggungjawab.
Hal yang sama ketika jembatan berusia 140 tahun di atas Sungai Machchu Kota Morbi India menewaskan 141 wisatawan. Langkah yang sama dilakukan dengan mengenali korban dan menyelamatkan yang tersisa. Selanjutnya perilaku etik, Pemerintah India meminta maaf sekaligus membentuk tim investigasi guna menemukan sumber dan penanggungjawab insiden.
Kasus serupa mendahului dua insiden di atas, 135 penonton tewas di Stadion Kanjuruhan Malang. Aksi yang mirip, pemerintah melakukan identifikasi sekaligus menyelamatkan korban yang cedera. Berikutnya tindakan etik, pemerintah menyampaikan keprihatinan sembari membentuk tim evaluasi untuk menemukan sebab insiden sekaligus pelaku yang paling mungkin dijadikan tersangka.
Prosedur semacam itu jamak terlihat di berbagai negara beradab. Sensitivitas duka dan permohonan maaf atas kegagalan mengantisipasi bencana kerap muncul dihadapan kita. Kata teolog Albert Schweitzer, langkah pertama dalam evolusi etika adalah solidaritas dengan manusia lain, selanjutnya menemukan sebab dan siapa yang bertanggungjawab dari rantai kuasa terendah hingga tertinggi. Dengan begitu kita dapat memitigasi bencana.
Sementara soal keprihatinan dan permohonan maaf lembaga pendidikan dan pemerintah adalah sikap etik sebagai tanggungjawab moral dan politik. Tanggung jawab politik itu bisa berbeda-beda, tergantung budaya masyarakatnya. Masyarakat yang cenderung sensitif dengan etika misalnya, tanggungjawab moral dan politiknya bisa di tebus dengan cara mengundurkan diri.
Tentu saja, di negara yang tak begitu sensitif dengan etika cukup menyerahkan soal-soal demikian pada sistem hukum yang ada untuk dicari biang keladinya, apakah terdapat unsur kesengajaan atau semata-mata karena human error. Hukum dianggap lebih rasional dibanding ukuran etik yang sangat emosional dan subjektif. Namun begitu, efek getar sanksi etik seringkali lebih kuat dan masif dibanding efek jera hukum itu sendiri. Contohnya, 448 kepala daerah dihukum karena korupsi sejak 2005-2022 tak berefek jera.
Belajar dari guru besar dan pernyataan etik seperti itu, kedepan kita perlu menempatkan para pelanggar etika kehadapan masyarakat, tidak sekedar menjebloskan dalam penjara. Masyarakat perlu diberi akses untuk mengontrol dan membatasi hak-hak para pelanggar etika. Di Eropa dan Asia Timur, hukuman sosial-etik jauh lebih menyengat dibanding hukuman fisik-penjara. Sanksi etik terhadap kesewenangan pemimpin dapat menekan secara psikologis hingga generasi selanjutnya. Ini semacam kutukan yang menyakitkan.
Foto : istimewa
Editor : Rakha