Oleh :
Dr. Muhadam Labolo
(Penulis, Peneliti dan Akademisi pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILASBABEL.COM – Sebuah dialektika demokrasi di Senayan mengusulkan agar hak pilih Aparat Sipil Negara dihapuskan. Gagasan itu disampaikan politisi PKS Mardani Ali Sera dalam kaitan revisi UU ASN (Kompas.com, 30 November 2022).
Alasannya sederhana, birokrasi rawan dipolitisasi hingga berpotensi bias pelayanan. Argumentasi itu selain dangkal, kehilangan basis pengetahuan lahirnya hak-hak politik, juga ahistoris dalam konteks relasi birokrasi dan politik sebagai salah satu kekuatan di Indonesia.
Secara historis, memperoleh hak politik selain istimewa juga tinggi nilainya. Sekalipun Negara Kota Polis di Yunani di abad ke-7 menjadi basis laboratorium politik, namun tak semua warga negara memiliki hak politik untuk memilih dan dipilih. Untuk memilih anggota legislator misalnya, hanya kelas sosial tertentu yang mempunyai previlage masuk ke bilik suara.
Kelas sosial itu terdiri dari kaum bangsawan (aristokrat), keluarga kerajaan, para filosof, birokrat, dan kaum artistik yang memiliki kecakapan tertentu. Tentu saja di luar wanita, anak-anak, orang tua dan masyarakat kelas bawah tanpa status kewarganegaraan (expatriate). Status kewarganegaraan di Polis menentukan seseorang memiliki hak istimewa untuk memilih dan dipilih. Status itu diberikan oleh negara, tidak terlahir begitu saja.
Sekian ratus tahun kemudian, demokrasi mempengaruhi sistem bernegara. Revolusi Perancis (1789) menandai perubahan hingga hak-hak politik warga negara dengan latar perbedaan dan profesi diberikan cuma-cuma. Syaratnya, sejauh seseorang dinilai dewasa secara politik melalui standar yang ditentukan oleh konstitusi negara. Hak politik itu bernilai tinggi, sebab tak hanya sarana bagi kanalisasi kepentingan, juga wujud penghormatan atas hak asasi manusia dalam menentukan masa depannya, baik individu maupun kolektif.
Salah satu profesi yang memiliki hak istimewa itu adalah Aparat Sipil Negara. Dalam konteks Indonesia, tentu saja semua PNS dan PPPK kecuali tentara dan polisi yang sampai hari ini tak memiliki hak politik memilih. Pertimbangannya, birokrasi yang bersifat ketat hirarkhi, sentralistik, otoriter serta mengendalikan senjata itu rawan disalahgunakan melalui jalur komando. Tak hanya itu, selain berpotensi memecah soliditas organisasi, juga kontradiktif dengan tugas utamanya, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Di masa Orde Baru berkuasa (1966-1998), hak politik ASN dimobilisasi lewat kebijakan mono loyalitas. Praktis hak politik itu tak berfungsi kecuali bagian dari upaya memenangkan rezim berkuasa lewat jalur ABG (Abri, Birokrasi dan Golkar). Sekalipun demikian, representasi birokrasi di parlemen terwakili lewat jalur utusan golongan/masyarakat. Organisasinya didesain terpusat bernama Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Faktanya, organ parastatal itu tetap hidup walau tak banyak faedahnya sampai hari ini.
Pasca runtuhnya orde baru, utusan golongan berubah ke dalam wadah baru bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Malangnya, mekanisme pemilihan yang identik dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadikan representasi birokrasi di parlemen kehilangan basis utamanya, kecuali para petualang yang mempraktikkan Politik Bajing Loncat dari partai politik ke ruang Dewan Perwakilan Daerah. Potret ini menjadikan birokrasi kehilangan kanalisasi sebagai salah satu kekuatan politik yang diperhitungkan.
Artikulasi kepentingan birokrasi pada akhirnya disandarkan semata pada Korps Pegawai Negeri yang mandul sejak awal. Korpri bahkan diformalisasi menjadi bagian dari struktur birokrasi guna merawat sikap mono loyalitas produk orde baru. Kosongnya representasi birokrasi di perlemen secara perlahan melemahkan daya tawar birokrasi. Pada titik ini birokrasi menjadi proyek politisi yang dikebiri sewenang-wenang lewat pembatasan hak untuk dipilih sekaligus mundur sebagai ASN saat mendaftar sebagai pejabat publik.
Diskriminasi itu terlihat jelas ketika para politisi tak harus mundur saat mencalonkan diri sebagai pejabat publik. Politisasi birokrasi pada akhirnya menghambat birokrasi bersikap netral sesuai norma idealnya. Realitas ini terjadi karena mekanisme sistem politik dalam kontestasi pemilu dan pilkada memungkinkan birokrasi terlibat otonom melalui struktur kuasa yang dikendalikan langsung oleh para politisi terpilih.
Jadi, ketidaknetralan birokrasi tercipta oleh sebab liberalisasi politik yang mempertemukan kepentingan birokrat dan politisi di setiap pesta demokrasi. Politisi butuh sumber daya di tangan birokrat, sementara birokrat butuh politisi guna menjamin stabilitas kekuasaaan dalam struktur birokrasi. Simbiosis mutualisme itu menjadikan relasi keduanya harmonis dan competitivness. Sekali lagi, politisasilah sumber ketidaknetralan, bukan birokrasi itu sendiri.
Dewasa ini birokrasi sulit memobilisasi pemenangan para politisi di lapangan. Kepemimpinan formal mulai lurah, camat, kepala OPD, sekda hingga sekjen sekalipun, relatif tak mampu memengaruhi konstituen melampaui kepemimpinan non formal seperti tokoh agama, masyarakat, dan adat yang punya daya tarik populis dan hubungan patron-client. Para tokoh itulah yang secara langsung mampu memengaruhi basis konstituen di lapangan politik praktis.
Satu-satunya nilai strategis birokrasi adalah kemampuannya mengendalikan sumber daya. Jadi, andaipun ASN tak punya hak pilih, tetap saja kemampuan mengendalikan sumber daya itu dapat digunakan sesuai wewenangnya. Dengan kapasitas itu, ditambah tekanan para politisi terpilih, tetap saja sikap netralitasnya tak dapat dijamin, bahkan semakin bebas dan profesional. Ada tidaknya hak politik ASN, kontrol birokrasi tetap berada di tangan para politisi.
Namun satu hal yang mesti diingat, bahwa melepas hak politik ASN sama maknanya menghilangkan nilai strategisnya sebagai warga negara istimewa. Mencabut hak politik ASN sama artinya para politisi itu sedang mengembalikan status birokrasi ke kelas sosial terendah, yaitu budak politisi dan napi yang kehilangan hak politik.Tampaknya kesadaran politik ini perlu dibangun, selain merepresentasikan kepentingan birokrasi sebagai kekuataan politik, juga sarana daya tawar yang seimbang.
Editor : Rakha