Oleh :
Dr. Muhadam Labolo
(Penulis, Peneliti dan Akademisi pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILASBABEL.COM – Tak sedikit yang bertanya, bagaimana masa depan sekolah Pamongpraja di tahun-tahun mendatang. Pertanyaan ini muncul di tengah quota penerimaan IPDN tahun 2023 yang hanya 534 orang. Jatah separuh atau sepertiga dari tahun-tahun sebelumnya itu, jelas menjadi warning untuk berbenah. Setidaknya meyakinkan kembali spesialisasi profesi Pamongpraja dari masa ke masa, serta urgensinya untuk tetap ada.
Secara historis, pendidikan Pamongpraja telah eksis jauh sebelum Indonesia merdeka. Osvia tumbuh pada 1900. Mosvia lahir pada 1927. KDC di buat tahun 1952. APDN terbentuk pada 1956. IIP dikembangkan pada 1972. STPDN dilahirkan pada 1990, hingga diintegrasi menjadi IPDN pada 2004. Metamorfosa itu menunjukkan bahwa pendidikan Pamongpraja terus berkembang beradaptasi dengan perubahan. Ia telah hidup dalam masa yang panjang.
Tak main-main, sekolah Pamongpraja itu dibidani oleh Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia, cikal bakal pemimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berganti baju menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Tak heran bila patung Soekarno berdiri tegak di halaman kampus. Amanat beliau soal pendidikan Pamongpraja di Malang memperjelas aspek historisitas dimaksud. Ia menandaskan urgensi yang menjadi misi, sekaligus legasi pendidikan Pamongpraja.
Urgensi itu berkaitan dengan spesialisasi Pamongpraja sebagai pelayan, penghubung, sekaligus instrumen pemerintah di daerah. Fungsi pelayan masyarakat merupakan antitesis dari kinerjanya yang selama ini cenderung menjadi kaki tangan pemerintah kolonial (Pangrehpraja). Soekarno mengoreksi sekaligus membersihkannya dari karakter inlander menjadi Pamongpraja, sebuah istilah yang lebih dekat sebagai pengayom dan pendidik nan dewasa.
Fungsi penghubung merupakan mediator antara yang memerintah dan yang diperintah. Sosok pengintegrasi di tengah kesenjangan pusat dan daerah oleh gerak desentralisasi. Dalam masa tertentu, Pamongpraja pun bertindak sebagai representasi yang memerintah, dan atau sebaliknya. Fungsi terakhir ini semakin menegaskan posisi Pamongpraja pada titik equalibrium dalam negara kesatuan. Ia menjadi jembatan dan pengikat agar kokoh.
Secara teknis, pekerjaan Pamongpraja berkaitan dengan tugas pemerintahan umum. Tugas pemerintahan umum itu sifatnya abstrak. Contohnya, koordinasi, pembinaan dan pengawasan. Bila ketiga hal itu menjadi teknis maka dia menjadi urusan departemen teknis. Namanya korbinwas teknis, bukan lagi urusan pemerintahan umum (Suryaningrat, 1999). Dalam konteks inilah Pamongpraja melaksanakan tugas utamanya, spesialisasi urusan pemerintahan umum (algemene bestuur).
Urusan pemerintahan umum berkaitan dengan bagaimana mengoordinasikan, membina dan mengawasi gerak sentrifugal instansi teknis agar tak berjalan sendiri, keluar dari tujuan, bahkan tak jarang menimbulkan egoisme sektoral. Untuk maksud itu dibutuhkan kendali sentripetal agar semua unit teknis bergerak sinkron. Tanpa kendali penyatu, pemerintahan cenderung disharmoni. Dalam lapangan pemerintahan misalnya, koordinasi adalah istilah yang paling mudah diucapkan, namun sukar dilaksanakan.
Gerak harmonis pemerintahan dikendali oleh subjek yang dididik sebagai Pamongpraja. Tugas korbinwas itu ibarat tugas seorang sais yang mengendalikan laju sejumlah kuda beraneka sifat (unit teknis) agar mencapai tujuan yang ditetapkan. Bila terlalu laju diawasi, teramat lamban dibina, tak selaras perlu dikoordinasikan. Untuk itulah Pamongpraja membutuhkan dasar pengetahuan generalis-spesialist, spesialist-generalis.
Tugas pemerintahan umum bukan tugas yang ringan. Sekalipun saat ini semua urusan habis dibagi, namun faktanya ada saja urusan yang tak di jamah oleh unit lain. Inilah urusan sisa (residual), yang kadang dianggap kecil tapi membesar sewaktu-waktu jika tak diselesaikan efektif. Untuk mewadahi itu dikanalisasi lewat asas tampung tantra agar semua urusan yang tak tersentuh dapat diambil alih dan dipertanggungjawabkan oleh pemerintah.
Tugas tampung tantra identik dengan tugas sel pemakan sampah dalam tubuh. Ia bahkan dapat mengorbankan dirinya sendiri (authopagi) demi menyelamatkan kelangsungan hidup orang banyak (public). Memang kelihatan sepele, namun seperti juga recycle bin dalam perangkat komputer adalah wadah menampung sampah yang sekali waktu dapat disterilisasi menjadi informasi berguna bagi user. Dalam makna inilah Pamongpraja bekerja termasuk seperangkat nilai kepamongprajaan (Ndraha, 2002).
Karena sifat urusan pemerintahan umum itu non teknis, maka spesialisasi Pamongpraja itu mengisi jabatan umum (general). Kita tau bahwa semakin ke atas sebuah jabatan semakin abstrak dan semakin leader, seperti sekretaris general atau direktur general. Di ketenteraan pun sama, mulai brigjen hingga jenderal. Sebaliknya, semakin ke bawah sebuah jabatan semakin teknis, semakin spesialis dan semakin bawahan, seperti jabatan teknis selama ini. Ada lini dan auxiliary.
Spesialisasi Pamongpraja diorientasikan untuk duduk di jabatan umum. Bahwa untuk sampai kesitu, tentu saja setiap Pamongpraja mengawali kariernya di posisi terbawah, sekretaris lurah, lurah, camat dan seterusnya. Bila Ia melebar mengepalai dinas teknis seperti kepala dinas pendidikan, kehutanan, kesehatan, perikanan, koperasi dan sebagainya tak lebih dalam kapasitas melaksanakan fungsi manajerial, bukan ahli secara teknis. Ini yang membedakan kompetensi Pamongpraja dengan pendidikan spesialis lain.
Posisi itu suka tak suka terjadi karena banyak faktor. Pertama, politik desentralisasi memberi kuasa pada kepala daerah menempatkan seseorang di semua jabatan. Kedua, aspek manajerial memungkinkan seseorang duduk di posisi berdasarkan syarat yang dapat dipenuhi secara normatif. Ketiga, pengetahuan tau sedikit soal banyak hal, dan tau banyak hal walau sedikit (generalis spesialist, spesialis generalis) membantu di posisi tersebut.
Keempat, norma yang mengatur syarat untuk duduk di sebuah jabatan cukup fleksibel dan akomodatif untuk Pamongpraja. Dengan semua faktor itu menjadikan Pamongpraja tak banyak kesulitan berkompetisi di level dan posisi apapun kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Berbeda dengan Tentara dan Polisi yang diafirmasi oleh kebijakan manajemen kepegawaian sehingga dapat melenggang ke sejumlah posisi strategis di sepuluh kementrian sipil.
Memahami sejarah, urgensi, serta spesialisasi Pamongpraja itu, tentu bukan saja menegaskan posisinya yang unik dalam kerangka negara kesatuan dan kebutuhan desentralisasi, juga mengisi kekosongan jabatan sipil dari Sabang sampai Merauke. Tanpa kehadiran Pamongpraja, birokrasi sipil di pusat bahkan daerah akan dikerubungi oleh tentara dan polisi dengan alasan dan fungsi yang sama, melaksanakan tugas pemerintahan umum, yaitu koordinasi, pembinaan dan pengawasan.
Tentu saja sifat, pendekatan dan muatan korbinwas tentara dan polisi berbeda dalam praktiknya. Sifatnya hirarkhis, komando dan teritorial. Pamongpraja bersifat struktural, fungsional dan kemasyarakatan. Pendekatannya security approach berbeda dengan prosperity approach. Orientasinya pun berbeda, bagi militer-polisi semua musuh kecuali terbukti sekutu. Orientasi Pamongpraja lain lagi, setiap warga adalah baik dan karenanya patut dilayani, kecuali terbukti sebaliknya. Inilah kekhasan dan spesialisasi Pamongpraja. (*)