Oleh :
Prof. Dr. Muhadam Labolo
(Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILASBABEL.COM – Sebuah video pendek menampilkan kekerasan verbal antara salah seorang anggota dewan di Pohuwato dengan salah satu penyampai aspirasi. Di Minahasa Tenggara, kekerasan yang sama muncul antara sesama anggota dewan lantaran kehendak berbicara yang menjadi haknya dihalang-halangi oleh pimpinan sidang. Kasus ini sering terjadi di daerah maupun di Senayan.
Salah satu kelebihan demokrasi adalah kemampuannya menyediakan fasilitas representatif di parlemen. Mengingat tak semua mesti duduk di parlemen, wakil dewan menjadi media efektif untuk berbicara atas nama kepentingan rakyat. Mereka dipilih setiap periode untuk menjembatani kehendak rakyat terhadap penguasa.
Sedemikian pentingnya kehendak rakyat dijaga, setiap wakil diberi hak imunitas agar kritik yang tajam pada penguasa tak mudah dikriminalisasi. Dengan begitu para wakil dapat berbicara apa adanya tanpa takut diintimidasi, bahkan sebaliknya, mampu mengoreksi penguasa hingga ke titik kompromi.
Dalam metafora yang tajam, para wakil kata Rocky Gerung ibarat anjing penggonggong yang dikendalikan oleh majikan. Majikannya adalah rakyat. Tugas wakil rakyat melayani perintah majikan, dan bukan sebaliknya. Bila ia justru berbalik menyalak majikan, tentu ada yang keliru selama ini.
Menjadi wakil di lembaga legislatif bermakna menjadi perpanjangan tangan orang banyak. Orang banyak disebut publik. Mungkin itu yang membuat kita memilih bentuk negara republik, artinya melayani kepentingan orang banyak, bukan orang-perorang. Satu orang sakit perut urusan pribadi, lebih 10 orang kelaparan jadi urusan publik.
Urusan publik disuarakan wakil rakyat. Wakil dipilih setidaknya yang paling cerdas dan berani. Cerdas dalam arti mampu memilah dan memilih kepentingan rakyat. Berani, berkemampuan mengartikulasikan kepentingan itu lewat ragam risiko. Demi orang banyak, ia bahkan menenggelamkan kepentingan pribadinya, bukan sebaliknya.
Risiko terburuknya, seorang wakil bukan saja siap untuk dikritik, juga diganti. Untuk itulah ia dituntut melaksanakan fungsinya secara maksimal, membuat produk hukum, menganggarkan, dan mengawasi semua kebijakan penguasa. Untuk menjalankan fungsi itu para wakil dihargai bahkan digaji sebagaimana penguasa.
Di berbagai negara, penghargaan bagi wakil rakyat bervariasi. Di barat, penghargaan bagi anggota dewan tak seberapa, bahkan tak punya gaji. Maklum, menjadi wakil rakyat adalah refleksi dari kebutuhan tertinggi manusia, yaitu aktualisasi diri, kata teoritikus psikologi Abraham Maslow. Di level terbawah ada pemenuhan fisiologis need.
Agar wakil rakyat dapat menjalankan fungsinya dengan baik, mereka setidaknya melalui proses pendidikan politik di partai. Partai mengajarkan bagaimana membangun relasi dan komunikasi yang baik dengan rakyat. Rakyat dalam hal ini adalah basis konstituen yang berbeda dari kemajemukan horisontal dan vertikal. Partai mengajarkan strategi merayu dan membujuk publik.
Di ruang dewan, para wakil mesti berbicara lantang pada penguasa, tapi lunak pada majikannya (rakyat). Bukan sebaliknya, lantang pada rakyat, tapi lunak pada penguasa. Logikanya, semakin keras mereka bicara semakin representatif. Artinya kanalisasi berjalan sesuai fungsinya, dimana dewan benar-benar menjadi corong rakyat.
Sebaliknya, semakin diam anggota dewan, semakin rendah kanalisasinya. Implikasinya kemacetan kehendak biasanya mendorong terbentuknya parlemen jalanan, apalagi bila ketidakpuasan diprovokasi sebagaimana kasus pembakaran Kantor Bupati Pohuwato. Kanalisasi yang macet akan memberi pilihan ekstrem bagi rakyat untuk melakukan tuntutan.
Kanalisasi lewat ruang parlemen hakekatnya melunakkan konflik yang kasar ke ruang yang lebih argumentatif, diplomatis dan banjir dialektika. Dengan begitu hasil kebijakan lebih akomodatif dan terwakili. Membiarkan tumpah ke luar parlemen sama artinya membiarkan rakyat frustasi berbuat apa saja, termasuk menyuburkan tindakan anarkisme. Agar tak terjadi, dewan mesti mendengarkan aspirasi.
Representasi yang mandul tak hanya melahirkan tindakan liar, juga mencipta sikap apatisme warga. Andai wakil efektif menyalurkan aspirasi, rakyat tak perlu berpanas-panasan di jalan untuk demo, sebab wakilnya yang akan bicara dengan sedikit kecerdasan dan keberanian. Di ruang parlemen seorang wakil tak perlu ragu untuk bicara, apalagi melakukan simbolisasi.
Di parlemen itu anggota dewan perlu bicara keras dan jujur. Namanya juga parle, yang artinya bicara. Jadi tugasnya bicara, bicara dan sekali lagi, bicara. Bicara yang jujur artinya bicara apa adanya, tanpa takut hingga perlu menyamar dengan istilah Konoho, Wakanda, Mukidi, maupun negeri +62. Wajar bila rakyat mesti melakukan itu, sebab mereka tak punya imunitas sebagaimana wakilnya.
Logikanya, cukuplah anggota dewan yang konflik, bukan basis pemilihnya, sebab bila rakyatnya yang konflik bisa jadi perilaku beradab menjadi biadab. Bila ruang parlemen menyajikan perasaan dingin, sebaliknya ruang massa melahirkan kepanasan, bakar ban, lempar kantor, adu jotos, bahkan menyandera wakilnya sendiri. Itulah ironi demokrasi.
Kritik Aristoteles, demokrasi adalah memilih wakil yang akan dikritiknya sendiri. Sekali lagi, agar itu tak terjadi, wakil harus bicara lewat fasilitas yang cukup. Cukup gaji dan tunjangan hingga tak perlu menggelar demo. Bila penguasa mangkir, dewan bisa menggunakan hak-hak politiknya, seperti interpelasi, angket, dan hak menyatakan pendapat.
Di Indonesia, dengan 3 hak dewan dan 11 hak istimewanya, seharusnya secara kolektif dapat menekan eksekutif. Faktanya, mereka seringkali menjadi wasit sekaligus pemain. Mereka legislatif sekaligus eksekutif. Mereka pengusaha sekalian penguasa. Anehnya lagi, mereka penggonggong sekaligus tuan dan majikan. Sampai di sini pahamlah kita, mengapa representasi dewan mandul. (*)