Menanti Akhir Perselisihan Pemilu

oleh -266 Dilihat
Foto : istimewa.

Oleh :

Prof. Muhadam

(Penulis, Peneliti dan Guru Besar Ilmu Pemerintahan pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)

 

KILASBABEL.COM – Perselisihan pemilu 2024 dinilai menarik dan penuh hiruk-pikuk (Hidayat, 2024). Kali ini, MK dipaksa tak lagi berkutat pada soal kalkulasi, tapi lebih jauh ke pori-pori pemilu, pembuktian atas diterapkannya asas bebas, jujur dan adil. Dalam proposisi dalil di mahkamah, pertanyaan untuk membuktikan itu misalnya, adakah indikasi kekuasaan digunakan terstruktur, sistematis, dan masif untuk kemenangan calon tertentu.

Setidaknya, ada tiga pilihan mekanisme yang sering digunakan para pencari keadilan pemilu. Dua pilihan pertama yaitu mekanisme politik dan hukum. Pilihan konstitusional-normatif yang butuh kemampuan kognitif dan psikomotorik luar biasa. Pilihan terakhir adalah cara ekstrem di luar parlemen yang sering disebut parlemen jalanan (extra parlemen).

Pilihan mekanisme politik tersedia lewat hak angket. Masalahnya, sejauh partai pengusung capres yang kalah gagal membangun soliditas untuk menundukkan pihak lain, angket hanyalah fatamorgana. Partai bukan saja haus kuasa, juga tak tahan puasa sebagai oposisi. Idealisme partai cenderung rapuh, dan karenanya politik dagang sapi menjadi pemandangan biasa pasca pemilu.

Mekanisme politik menjanjikan sejumlah peluang. Minimal memberi harapan tentang perubahan sistem ke arah bermutu. Artinya, proses politik yang panjang dan alot itu setidaknya mampu mengubah aturan main kedepan, sekalipun mungkin tak serta-merta menghentikan kemenangan capres terpilih dengan semua kecurangan yang disangkakan. Misalnya saja rekomendasi kembali ke mekanisme lama, dipilih MPR lewat amandemen terbatas.

Mekanisme hukum tak hanya membutuhkan pembuktian angka-angka. Lebih dari itu butuh argumen antar dan inter disiplin ilmu untuk membuktikan kualitas pemilu. Karenanya dibutuhkan saksi fakta dan saksi ahli. Saksi fakta mendeskripsikan realitas berdasarkan pancaindera. Sementara saksi ahli bertugas membongkar realitas lewat kemampuan nalar, rasionalitas dan logika.

Tentu saja kanalisasi hukum tak hanya lewat MK, dapat di tempuh lewat MA untuk putusan administrasi organ pelaksana pemilu yang dinilai tak memenuhi Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Pemohon hanya perlu membuktikan, apakah prosedur dilakukan sesuai standar, selain indikasi penyalahgunaan, mencampur-adukkan, atau bersikap sewenang-wenang dalam hal pembuatan keputusan.

Pemohon dapat mempersoalkan apakah prosedur yang digunakan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan menurut undang-undang terkait. Kesalahan prosedur dalam proses pembuatan keputusan bukan saja dengan enteng merevisi kembali putusan, juga merembes ke ruang dan waktu dimana keputusan tersebut dilaksanakan. Artinya implikasi atas putusan itu dapat dinilai batal demi hukum (null and void).

Sekalipun mekanisme hukum tak cukup memuaskan pihak-pihak yang kalah di banding mekanisme politik yang mungkin menawarkan peluang win-win solution, namun pilihan ini sekurangnya memberi kepastian hukum untuk perkara yang bersifat final & binding. Disini bergantung pada kesadaran tak hanya sebagai masyarakat hukum, juga kedewasaan kita dalam berdemokrasi.

Pilihan terakhir berkaitan dengan kemandekan dua hal sebelumnya. Mekanisme ini sejauh mungkin dihindari sepanjang dua pilihan mekanisme di atas dapat dilakukan oleh pihak-pihak berselisih. Mekanisme extra parlemen menunjukkan bahwa pencari keadilan tak cukup efektif terlokalisir hingga tumpah dan mencari jalannya sendiri. Jalan itu bisa lebih banyak mudharat dibanding manfaat.

Pilihan revolutif semacam itu punya histori efektif sekalipun high cost. Belajar dari tumbangnya rezim-rezim otoriter di dunia tak jarang lewat mekanisme people power. Eklusivitasnya bukan semata soal economi cost, juga social politics cost yang mesti di refresh pasca turbulensi. Pengalaman menunjukkan setiap 25-30 tahun selalu saja terjadi tumpahan ekspresi ke jalanan yang menimbulkan huru-hara politik.

Kunci people power bergantung pada sejauhmana konsolidasi mampu dibangun oleh civil society. Masalahnya, kekuatan civil society kini tak memperlihatkan kohesivitas, selain minimnya kepemimpinan acceptable untuk semua genre. Tokoh-tokoh kunci semacam hero dimasa orba kini memasuki purna tugas, lansia dan bercokol dalam sistem itu sendiri. Menikmati dan centang-perenang.

Dengan gambar itu, kita tinggal berharap lahirnya putusan MK sebagai kanalisasi dari aspek hukum (rechtvinding). Sesudahnya, kita sebaiknya segera fokus menyelesaikan agenda berikutnya, yaitu pemilukada dan kelanjutan pemerintahan. Terlalu lama baperan, bangsa ini dapat kehilangan momentum. Namun membiarkan proses pemilu tiap lima tahun tercurangi, sama saja membiarkan demokrasi kembali dibajak oleh otoritarianisme baru. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.