Oleh :
Muhadam Labolo
(Penulis, Peneliti dan Guru Besar pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILASBABEL.COM – Fenomena amicus curiae kini menjadi semacam second opinion dalam pencarian keadilan. Memang tak lazim berlaku dalam sistem hukum kontinental. Sejarahnya lebih mudah ditemukan dalam sistem hukum common law (anglo-saxon). Namun apapun itu, keadilan penting diperoleh dengan mempromosikan sebanyak mungkin pemikiran dan bukti untuk dianalisis.
Amicus curiae, atau teman pengadilan (friends of court) pada dasarnya berfungsi memberikan perspektif lain yang mungkin tak tersentuh oleh penglihatan hakim. Hakim tentu saja manusia biasa yang punya keterbatasan. Sebab itu Ia butuh alternatif yang mungkin terlewatkan dalam proses persidangan.
Bagi mereka yang serius mengikuti proses persidangan tentu dapat melihat dimana celah yang belum tersentuh hakim. Mereka dapat memberikan analisis yang lebih spesifik menurut keahlian masing-masing. Jadi bukan sekedar lembar curhatan personal dan kolektif yang bersifat politis guna menyentuh nurani hakim.
Dalam bilik sidang, hakim diharapkan tak hanya bersandar pada dialektika pemohon, termohon, dan saksi. Saksi fakta dan saksi ahli pun punya seribu-satu penilaian terhadap materi yang diperkarakan. Namun di luar sidang seseorang dapat melihat proses itu secara komprehensif seperti mata elang yang punya vision. Lubang perkara yang alpa dilihat hakim menjadi alasan perlunya amicus curiae.
Hakim butuh pemikiran untuk sampai pada keyakinan. Pemikiran hanya mungkin bila seluruh argumen dapat dibuktikan secara faktual dan rasional. Faktual berdasarkan pendekatan empirik. Empirik butuh pancaindera. Pancaindra butuh jaminan sehat jasmani dan rohani. Rasionalitas berdasarkan logika dari satu loncatan argumen ke argumen berikutnya. Argumen butuh akal sehat atau kewarasan.
Pemikiran kolektif hakim dikonstruksi lewat proses kognisi. Ini melibatkan analisis, evaluasi, dan refleksi terhadap informasi sebelum tiba pada konklusi. Pola ini mencerminkan bahwa keadilan sedang dicari seobjektif mungkin lewat rasionalitas-logika. Sebaliknya, keyakinan hakim bertumpuk pada spiritualitas dirinya. Seberapa jauh nuraninya menapis pemikiran yang berlebihan. Semua bergantung pada pribadi masing-masing.
Dalam kondisi itu, pemikiran dan keyakinan hakim dapat saling memengaruhi. Ada situasi dimana keyakinan dapat memengaruhi pemikiran. Hakim yang terlatih dengan kepekaan nurani seringkali mengabaikan rasionalitas-logika. Sebaliknya, pemikiran mendalam dapat memperkuat keyakinan. Sebab itu, pemikiran dan keyakinan berperan penting melahirkan keadilan tertinggi.
Pemikiran hakim adalah produk dari kecerdasan menemukan solusi bagi keadilan kolektif (rechtvinding). Untuk sampai disitu kata Ghazali mereka tak hanya butuh fakultas akal. Akal yang terbatas seringkali hanya menyisakan kalkulasi, hasil penyelidikan, kebenaran materil, atau sesuatu yang menurut Martin Heddeger bersifat esensialis, bukan kebenaran eksistensialis.
Sebab itu, hakim perlu menambah keyakinan sebagai produk dari fakultas qalbu. Keyakinan yang terisi spiritualitas, serta kepekaan menangkap pesan di luar mahkamah sebagai bentuk kegelisahan, dan mungkin juga sedikit kemarahan terhadap realitas hukum yang terkesan diperkosa kekuasaan hari-hari ini, penting melengkapi upaya hakim dalam mencapai keadilan subtantif. (*)