KILASBABEL.COM – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengungkapkan, ada perbedaan musim kemarau yang dialami Indonesia saat ini dibandingkan tahun 2023 lalu. Di sisi lain, dia menambahkan, secara umum kondisi cuaca dan iklim dipengaruhi letak wilayah RI yang diapit oleh 2 benua dan 2 samudera.
Akibatnya, kata Dwikorita, wilayah-wilayah di Indonesia mengalami kondisi cuaca dan iklim yang berbeda. Karena itulah, lanjutnya, di saat sebagian wilayah Indonesia mengalami musim kemarau, di belahan bumi Indonesia lainnya mengalami curah hujan tinggi bahkan banjir.
Hal itu disampaikan Dwikorita usai pembukaan Festival Aksi Iklim dan Workshop Iklim Terapan: Aksi Iklim Kaum Muda untuk Perubahan Iklim Indonesia, ditayangkan akun Youtube Info BMKG, Selasa (20/8/2024). Dia pun mengatakan, musim kemarau kali ini berbeda dari tahun lalu.
“Kondisi saat ini musim kemarau di sebagian wilayah Indonesia. Nggak bisa kompak barengan semua musim kemarau. Kenapa? Musim di Indonesia ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Diantaranya, letak Indonesia yang berada di antara 2 Samudera, Pasifik dan Hindia. Juga di antara v 2 benua, Australia dan Asia. Saat ini, angin dari Australia yang niatnya sih ke Asia, melewati Indonesia. Akibatnya, wilayah Indonesia bagian selatan saat ini kering, puncaknya Agustus-September ini. Antara lain Jawa, Nusa Tenggara, bahkan Papua selatan,” papar Dwikorita.
“Yang masih di utara khatulistiwa ke utara, sekarang masih mengalami banjir. Kenapa banjir padahal musim kemarau? Prediksi BMKG salah? Nggak. Itu karena nggak mau kompak (kondisi musim berbeda-beda). Makanya masih ada yang banjir,” tambahnya.
Lalu, lanjut Dwikorita, pihaknya juga sudah memantau potensi terjadinya La Nina lemah di akhir bulan Agustus-awal September nanti. Beberapa wilayah di Indonesia akan terdampak. Dari data diperkirakan, La Nina ini akan menimbulkan kenaikan curah hujan sekitar maksimal 10%. Salah satu wilayah yang diprediksi akan terdampak adalah Sumatra.
“Pada bulan Oktober nanti diprediksi akan masuk musim hujan. Ini dipengaruhi angin dari Asia,” katanya.
“Nah, di sela-sela terjadinya musim ini, kadang ada fenomena yang bisa terjadi selama beberapa jam, beberapa hari, atau beberapa minggu. Misalnya, MJO (Maden Jullian Oscillation), gerombolan awan hujan yang bergerak dari arah timur Afrika, melintasi Samudera Hindia, sepanjang khatulistiwa,” sebutnya.
Fenomena lain, kata Dwikorita, munculnya gelombang atmosfer yang juga dapat membawa hujan.
“Pada saat gelombang atmosfer datang, awan hujan mendadak muncul. Padahal seharusnya awan hujan belum muncul. Nah, pada saat ini terjadi, pak Seto (Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto) akan mencegat dan memaksa awannya turun. Kalau kelembapannya 70%, bisa dipercepat-dipaksa turun. Nah kemarin pak Seto melakukan modifikasi cuaca itu dan awannya dipercepat turun di wilayah Jawa Timur, Jawa Barat yang kering. Begitu kita memanfaatkannya dengan modifikasi cuaca,” jelasnya.
Musim Kemarau 2024 Vs Musim Kemarau 2023
Sementara itu, hasil Analisis Perkembangan Musim Kemarau Dasarian I Agustus 2024, BMKG mencatat sebanyak 60% wilayah Zona Musim (ZOM) Indonesia masuk musim kemarau.
Wilayah yang sedang mengalami musim kemarau meliputi sebagian Aceh, sebagian Sumatra Utara, Riau, sebagian Bengkulu, Jambi, sebagian sumatera Selatan, Lampung, Pulau Jawa, Bali, NTB, NTT, sebagian Kalimantan Tengah, Sebagian Kalimantan Selatan, sebagian Kalimantan Timur, sebagian Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, sebagian Sulawesi Barat, sebagian Sulawesi Tenggara, sebagian Maluku, dan sebagian Papua Selatan
Lebih lanjut Dwikorita menerangkan, perbedaan musim kemarau tahun ini dibandingkan tahun 2023 adalah karena adanya fenomena El Nino di tahun 2023. El Nino adalah salah satu fase ENSO.
Mengutip situs resmi BMKG, ENSO atau El Nino-Southern Oscillation adalah anomali pada suhu permukaan laut di Samudera Pasifik di pantai barat Ekuador dan Peru yang lebih tinggi daripada rata-rata normalnya. Disebutkan, iklim di Samudra Pasifik terbagi ke dalam 3 fase. Yaitu, El Nino, La Nina, dan Netral.
Saat fase El Nino, angin pasat yang biasa berhembus dari timur ke barat melemah atau bahkan berbalik arah. Pelemahan ini dikaitkan dengan meluasnya suhu muka laut yang hangat di timur dan tengah Pasifik. Air hangat yang bergeser ke timur menyebabkan penguapan, awan, dan hujan pun ikut bergeser menjauh dari Indonesia. Hal ini berarti Indonesia mengalami peningkatan risiko kekeringan.
“Tahun lalu kompak kering, hampir semua kering. Karena ada pengaruh El Nino di bulan Juni, yang sudah diprediksi sejak bulan Januari (2023),” kata Dwikorita.
BMKG sendiri telah menyatakan fenomena El Nino telah berakhir. Hal itu ditandai anomali suhu muka laut (SST) yang menunjukkan ENSO di fase Netral dengan indeks 0.11.
“Anomali SST di Nino3.4 menunjukkan ENSO Netral (indeks 0.11). Kondisi ini menunjukkan fenomena El Nino 2023/2024 telah berakhir dan berada pada kondisi Netral,” demikian mengutip Hasil Analisis Dinamika Atmosfer Dasarian II Juli 2024 yang dipublikasikan BMKG hari ini, Rabu (23/7/2024).
Sumber : cnbcindonesia.com