Oleh :
Prof. Muhadam
(Guru Besar Politik Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILASBABEL.COM – Dalam setahun ini, energi jagad raya diusik oleh ijazah. Masyarakat hampir kelelahan menyusuri otentifikasinya. Apalagi yang disoal bukan orang biasa, mantan orang nomor satu di republik. Ia menjadi pertaruhan role model soal etika kepemimpinan bagi generasi hari ini dan akan datang. Di situ sensitivitasnya, di luar kepentingan politik yang mudah diraba.
Ijazah berasal dari Bahasa Arab, (izjah), yang berarti izin atau kuasa. Dalam konteks pendidikan, ijazah merujuk pada dokumen resmi yang dikeluarkan lembaga pendidikan sebagai bukti seseorang telah menyelesaikan program studi atau pendidikan tertentu. Jadi bukan indikasi seseorang pintar kata Rocky Gerung, tapi penanda bahwa seseorang pernah bersekolah.
Secara historis, model ijazah dikeluarkan pertamakali oleh Universitas Al-Qarawiyyin di Moroko pada abad 9 (Fatima Al-Fihri). Sebuah universitas tertua di dunia dibanding Universitas Bologna atau Oxford yang baru meng-copas di abad 11 dan 12. Isinya bukan saja ilmu yang dipelajari, juga nama guru dan silsilah keilmuan. Mirip prosedur periwayatan hadits sehingga mudah dilacak kualifikasinya.
Dari sisi etimologis dan historis itu, pemegang ijazah punya izin atau kuasa melakukan sesuatu terkait bidang ilmu yang dipelajari. Artinya, mereka dipercaya dapat bertindak untuk dan atas nama bidang ilmu yang digeluti. Dalam dunia ilmiah, mereka diklaim punya otoritas. Itulah mengapa dihadapan hakim seorang saksi ahli dikonfirmasi otoritasnya.
Jadi, setidaknya ada dua unsur penting terkait ijazah. Otentifikasi dari lembaga resmi yang mengeluarkan, serta otoritas pemegang ijazah yang menunjukkan kemampuan. Faktanya, seseorang boleh punya ijazah namun belum tentu kompatibel dengan kemampuannya. Contohnya, orang berijazah teknik sipil tapi kerja diperbankan. Berijazah guru tapi berpraktik sebagai camat.
Sebaliknya, tak sedikit yang punya keahlian tertentu tapi tak dibekali ijazah. Misalnya tukang kuli bangunan yang sehari-harinya menyusun bata hingga membentuk gedung pencakar langit. Mereka bekerja berdasarkan pengalaman. Itulah mengapa pola pendidikan dewasa ini dituntut mampu mengintegrasikan teori dan pengalaman. Artinya punya ijazah sekaligus lulus sertifikasi.
Dunia realitas kini butuh kompetensi umum dan khusus. Seseorang mungkin memilih bidang studi tertentu sebagai kompetensi utamanya. Tapi itu saja tak cukup. Pendekatan terhadap setiap problem butuh kompetensi lain sebagai akar tunjang. Jangankan pemerintahan yang kompleks, design thinking yang lebih spesifik butuh sokongan ilmu seperti antropologi dan sejarah (Crilly dalam Indratmo, 2025).
Ijazah memberi kuasa bagi pemegangnya untuk mentransmisikan ilmu pengetahuan yang diperolehnya, baik secara teoritik maupun praktikal. Sebab itu Ia mengandung konsekuensi etis nirkepalsuan. Setidaknya pada otoritas pemberi, pemegang, dan lingkungan yang menjadi objek ilmu pengetahuan. Institusi pendidikan, pembelajar, dan masyarakat jadi taruhan.
Sebab itu, kepada institusi dan mahasiswa patut diingatkan agar prosedur pendidikan penting dipatuhi. Tak boleh ada mahasiswa yang tak pernah masuk kelas tiba-tiba beroleh nilai dan lulus wisuda. Tak boleh ada mahasiswa yang tak jelas kuliahnya tiba-tiba duduk dalam sidang terbuka dalam tempo yang sesingkat-singkatnya bergelar magister, doktor, bahkan guru besar.
Kuasa atas bekerjanya prosedur-prosedur pendidikan tentu saja ada di tangan institusi dan para pendidik itu sendiri. Hilangnya moralitas dengan cara menyembelih prosedur dalam banyak kasus yang menimpa dunia pendidikan saat ini mengindikasikan rontoknya pondasi etik yang mengancam peradaban berbangsa dan bernegara.
Sekali lagi, mengoreksi absensi, nama pembimbing, memeriksa ujian semester, tugas extra, ujian proposal-tertutup-terbuka, pendampingan di tempat KKN, magang, praktikum, bukanlah sekedar tugas-tugas administrasi belaka, tapi tanggungjawab hukum dan moral-etik civitas akademik untuk tidak saja kelak dimuka pengadilan bila sewaktu-waktu dijadikan saksi, juga dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. (*)